EmitenNews.com - Kebijakan pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor (PE) minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) dan produk turunannya dari 7,5% menjadi 10% dinilai semakin membebani petani sawit. Kenaikan pungutan ekspor menjadi 10% itu, bakal berdampak ke harga TBS. Harga TBS berpotensi tertekan sebesar Rp300–325 per kilogram. Padahal, saat PE 7,5% saja harga TBS sudah tertekan Rp225–245 per kilogram. 

“Kenaikan tarif pungutan ekspor untuk minyak kelapa sawit atau crude palm oil dan produk turunannya dari 7,5% menjadi sebesar 10% dari harga referensi CPO tentu sangat mengejutkan kami petani sawit,” kata Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung Kamis (15/5/2025). 

Dalam empat bulan terakhir, harga CPO semakin menurun. Apkasindo mencatat, harga CPO turun Rp1.500-Rp2.000 per kilogram pada empat bulan terakhir. Di sisi lain, para eksportir CPO dan turunannya tidak berdampak signifikan dari kenaikan PE CPO menjadi 10%. 

“Karena semua bebannya akan dipindahkan ke harga CPO dan selanjutnya produsen CPO akan memindahkan beban tersebut ke sektor hulu, atau penghasil TBS, alias petani,” ujarnya. 

Artinya, beban penambahan PE sebesar 2,5% ini akan dipindahkan ke harga TBS melalui turunnya harga di tingkat pekebun. Beban petani sawit semakin berat dengan adanya kebijakan kenaikan PE CPO menjadi 10%. Masalahnya lagi, dana hasil PE sawit ini harus dibagi ke kakao dan kelapa sejak berubahnya BPDP-KS menjadi BPDP. 

Gulat meminta agar petani sawit diberi kemudahan untuk mendapatkan program Badan Pengelola Perkebunan (BPDP) yang berkaitan dengan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan Program Sarana Prasarana. Relaksasi ini perlu diberikan sebagai kompensasi kenaikan pungutan ekspor yang menjadi beban tambahan harga TBS sawit petani. 

Harapannya, PE difokuskan untuk program-program yang berkaitan terhadap produktivitas kelapa sawit. Pasalnya, petani sawit sulit memenuhi syarat PSR, seperti legalitas dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian ATR/BPN. 

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menaikkan PE CPO melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30 Tahun 2025 (PMK 30/2025) tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BLU BPDP) pada Kementerian Keuangan. 

Berdasarkan kebijakan yang mulai berlaku pada 17 Mei 2025 itu, Menkeu Sri Mulyani mengungkap kenaikan PE CPO ini untuk meningkatkan produktivitas produk perkebunan dan memberikan nilai tambah produk hilir di tingkat petani. 

Tarif layanan dimaksud merupakan tarif pungutan dana perkebunan atas ekspor kelapa sawit, CPO, dan/atau produk turunannya yang disebut tarif pungutan. Tarif pungutan ini ditetapkan berdasarkan nilai harga referensi (HR) CPO. 

Sementara itu, HR CPO mengacu pada harga referensi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. 

Menurut Menkeu, tarif pungutan ini dikenakan kepada pelaku usaha perkebunan yang melakukan ekspor komoditas perkebunan dan/atau turunannya, pelaku usaha industri berbahan baku hasil perkebunan, dan eksportir atas komoditas perkebunan dan/atau produk turunannya. 

Nantinya, tarif pungutan yang dikenakan kepada pelaku usaha dan eksportir dibayar dalam mata uang rupiah dengan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran. 

Sementara itu, nilai kurs akan ditetapkan oleh Menkeu berdasarkan Keputusan Menkeu mengenai nilai kurs sebagai dasar pelunasan bea masuk, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, bea keluar, dan pajak penghasilan. ***