EmitenNews.com - Keputusan pemerintah menggelontorkan dana Rp200 triliun ke sektor perbankan, patut diapresiasi sebagai salah satu kebijakan fiskal paling berani tahun 2025. Dana tersebut diarahkan khusus untuk penyaluran kredit produktif, sehingga bank tidak diperkenankan mengalihkan likuiditas ke instrumen pasif seperti obligasi pemerintah. Inilah momentum tepat mengembangkan REIT di Tanah Air.

Dengan demikian, aliran dana yang disalurkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ke perbankan BUMN ini langsung menyentuh sektor riil, meningkatkan kapasitas konsumsi masyarakat, serta mempercepat perputaran roda perekonomian nasional.

Kebijakan Menkeu ini diambil di tengah kebutuhan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh 5,12% pada triwulan II-2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dengan kontribusi signifikan dari sektor konsumsi rumah tangga dan ekspor. 

Sementara itu, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh sebesar 6,99%, mencerminkan minat yang cukup kuat terhadap penanaman modal baru di sektor produktif.

Meski pertumbuhan ini menggembirakan, tantangan struktural masih ada. Data menunjukkan bahwa proporsi investasi terhadap PDB pada kuartal II-2025 hanya sekitar 27,83%, sedikit menurun dibanding periode sebelumnya yang sempat di atas 29–30%. Artinya, walaupun konsumsi berhasil digenjot dengan likuiditas tambahan, daya dorong dari sisi investasi masih memerlukan penguatan.

Pertumbuhan ekonomi tidak dapat bertumpu pada konsumsi semata

Pertumbuhan ekonomi tidak dapat bertumpu pada konsumsi semata. Konsumsi rumah tangga memang berkontribusi lebih dari 50% terhadap GDP Indonesia, tetapi jika tidak diimbangi dengan investasi, pertumbuhan cenderung bersifat jangka pendek dan rapuh. 

Dana Rp200 triliun yang dialirkan ke perbankan anggota Himbara itu, memang akan memicu kredit konsumtif dan produktif dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka menengah-panjang, hanya investasi yang mampu menciptakan lapangan kerja berkelanjutan, memperbaiki produktivitas, dan membangun kapasitas industri nasional.

Realisasi investasi sepanjang semester pertama 2025 mencapai Rp 942,9 triliun, mencatatkan kenaikan signifikan dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih jauh dari potensi yang bisa diraih apabila ekosistem investasi di Indonesia lebih kondusif, transparan, dan terdiversifikasi.

Di sinilah relevansi Real Estate Investment Trusts (REIT) atau Dana Investasi Real Estat (DIRE) menemukan tempatnya. Instrumen ini memungkinkan penggalangan dana dari publik dan investor institusi untuk diinvestasikan langsung ke aset-aset produktif seperti pusat logistik, perumahan, data center, hingga infrastruktur transportasi. Dengan struktur investasi kolektif, REIT membuka peluang masuknya dana besar ke sektor riil tanpa harus mengandalkan pembiayaan pemerintah semata.

Real estate investment trusts sebagai motor Investasi dan Infrastruktur

Pemerhati REIT Abdullah Syarifuddin menjelaskan tentang pentingnya pengembangan Real Estate Investment Trusts (REIT) sebagai salah satu terobosan finansial untuk Indonesia. Dalam tulisannya dia melihat potensi besar skema ini sebagai jembatan antara kebutuhan modal infrastruktur dengan minat investor domestik maupun asing. 

“REIT bukan sekadar instrumen finansial, melainkan strategi untuk memperkuat fondasi pembangunan jangka panjang melalui keterlibatan pasar modal,” urainya.

Pandangan ini diperkuat oleh Ishak Chandra, salah satu praktisi besar di industri properti Indonesia. Praktisi yang telah lama berkecimpung dalam pembangunan kawasan terpadu, hunian, dan proyek komersial berskala nasional ini, melihat REIT sebagai peluang untuk mengalirkan dana segar ke sektor properti sekaligus meningkatkan likuiditas aset yang sebelumnya tidak produktif. 

Dengan pengalaman panjang mengelola proyek besar, Ishak menekankan bahwa keberhasilan REIT akan menciptakan multiplier effect yang signifikan bagi sektor konstruksi, jasa logistik, hingga penciptaan lapangan kerja baru.

Indonesia memang masih menghadapi keterbatasan infrastruktur. Keterhubungan logistik antarwilayah belum optimal, biaya distribusi barang relatif tinggi, dan kapasitas transportasi publik serta energi terbarukan masih memerlukan tambahan investasi besar. Dalam situasi ini, REIT dapat berfungsi sebagai alternatif sumber pembiayaan di luar APBN, mengingat ruang fiskal pemerintah terbatas.

Momentum juga mendukung. Industri konstruksi Indonesia diproyeksikan tumbuh 4,1% pada 2025, ditopang oleh investasi di sektor transportasi, perumahan, proyek energi, dan FDI yang terus mengalir. Jika REIT diperkuat regulasinya, maka sebagian besar pertumbuhan ini bisa diarahkan melalui instrumen investasi kolektif sehingga manfaatnya lebih terdistribusi.