EmitenNews.com - Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengungkapkan, terus menerus memberikan subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM) bukan pilihan tepat. Pasalnya, selama ini skema yang digunakan justru menguntungkan masyarakat kelas menengah. Ia juga mengingatkan pemerintah agar jangan sampai menahan harga BBM dengan utang baru. Saat ini utang pemerintah sudah Rp7.000 triliun.


Dalam keterangannya kepada pers, yang dikutip Minggu (14/8/2022), Tulus Abadi mengutip hasil kajian Bank Dunia, subsidi BBM oleh pemerintah lebih banyak dinikmati para pemilik kendaraan roda empat. Setidaknya 40 - 70 persen digunakan kelas menengah bukan masyarakat yang benar-benar membutuhkan.


"Tidak menaikkan harga BBM sama artinya melanggengkan subsidi BBM bagi kelas menengah atas," tegas Tulus Abadi.


Masih mengutip Bank Dunia, kata Tulus Abadi, Bank Dunia telah merekomendasikan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Apalagi subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk ini telah mencapai Rp520 triliun.


Nah, besarnya kebutuhan tersebut dikhawatirkan ditutupi pemerintah lewat pembiayaan atau utang. Padahal total utang Indonesia sudah bengkak hingga Rp7.000 triliun. Besarnya utang tersebut membuat posisi Indonesia bisa saja bernasib sama dengan Sri Lanka. "Tragisnya, jika subsidi BBM itu dipasok dari utang. Ingat utang pemerintah kini menggunung, hingga Rp7.000 triliun."


Seperti diketahui, hingga kini, pemerintah masih menahan harga BBM, terutama jenis Pertamax, Pertalite. Keputusan ini diambil dalam rangka menjaga daya beli yang masih belum pulih diterpa pandemi Covid-19.


Dalam pandangan Tulus Abadi, opsi kebijakan pemerintah tersebut cukup rasional, demi menjaga daya beli masyarakat yang menurun akibat pandemi Covid-19, dan melambungnya harga pangan. Soalnya, jika pemerintah melepas harga BBM sesuai keekonomiannya, akan banyak dampaknya. ***