EmitenNews.com - Kesuksesan tidak pernah mengenal latar belakang. Setiap orang berhak meraih kesuksesan sepanjang mau bekerja keras dan berusaha. Hal itu juga diyakini Choirul Mahpuduah (53), yang sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur. Kerja keras dan keinginan untuk berubah telah membawanya menjadi pebisnis sukses.


Mahpuduah pernah bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, usai kena PHK dia memilih mendirikan komunitas usaha perempuan di kampungnya. Dalam komunitas ini terdapat beberapa unit usaha termasuk usaha kue milik Mahpuduah. Dia menyebutnya “Kampung Kue” merupakan paguyuban yang anggotanya terdiri atas 63 orang pengusaha kue.


Dalam keterangannya yang dikutip Ahad (22/5/2022), Mahpuduah menceritakan, menggagas kampung kue mulai tahun 2005. Ketika itu, ia melihat banyak ibu-ibu di kampungnya, kalau pagi-pagi lebih banyak merumpi, tidak melakukan kegiatan produktif. “Kalau siang sebagian dari mereka dikejar-kejar rentenir.”


Dari situ dia berpikir, untuk membuat komunitas Kampung Kue, di Rungkut Lor Gang 2, RT 04, RW 05, Kelurahan Kalirungkut, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya, Jawa Timur, agar ibu-ibu di sana menjadi produktif. Sebelum mendirikan komunitas, perempuan berusia 53 tahun ini terlebih dahulu melakukan pengamatan kecil-kecilan.


Dari situ, ia mendapat informasi berharga bahwa warga setempat pada tahun 1970-an dikenal sebagai produsen pakaian dalam laki-laki dan perempuan. Kemudian, ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 sebagian ada yang memproduksi kue. Tapi saat itu tidak terlalu berdampak besar apalagi dampaknya terhadap masyarakat lingkungan sekitar.


Akhirnya Mahpuduah mencoba mengembangkan potensi pertama, yaitu mengembalikan kejayaan Rungkut Lor Gang 2 dengan membuka usaha sulam pita. Menurutnya, dengan membangun komunitas usaha bisa mengangkat martabat perempuan menjadi pribadi lebih produktif, khususnya bagi ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 yang sebelumnya menganggur.


Sayangnya, ada sebagian ibu-ibu yang menolak pendirian komunitas, namun dia menganggap hal tersebut lumrah saja. Berbekal tekad yang kuat, akhirnya pada tahun 2005 resmi berdiri komunitas Kampung Kue yang didalamnya terdiri dari 63 pengusaha kue, baik kue basah dan kering.


“Dari situ saya mengajak ibu-ibu pelatihan bikin kue sebisa saya. Lama-kelamaan kita punya jaringan dengan LSM-LSM perempuan, serikat buruh dan dinas-dinas, dengan perusahaan perusahaan swasta, BUMN, universitas dan para mahasiswa yang akhirnya membuat nama kampung kue semakin dikenal,” ujarnya.


Saat awal mendirikan komunitas Kampung Kue, dihadapkan dengan kesulitan pembiayaan. Saat itu, semua pendanaan masih keluar dari kantong pribadi Mahpuduah. Kemudian, dia sadar bahwa diperlukan urunan dana dari anggota. Terkumpulah dana sebanyak Rp150 ribu yang berasal dari 3 orang anggota komunitas Kampung Kue. Dana tersebut digunakan untuk simpan pinjam anggota jika memerlukan dana untuk membuat kue.


Seiring berjalannya waktu, anggota komunitas terus bertambah, dari 10 orang menjadi 15 orang, seterusnya hingga kini ada 63 orang. Setiap anggota diarahkan untuk memiliki simpanan pokok Rp50 ribu dan simpanan sukarela disesuaikan dengan kemampuan anggota, sementara simpanan wajibnya Rp10 ribu per bulan.


“Saat pertama kali berdiri komunitasnya kesulitan dalam pendanaan. Tapi, setelah semua perusahaan swasta, BUMN, pemerintah, akademisi mengenal kampung kue, akses permodalan pun menjadi lebih mudah termasuk dengan BRI,” ujarnya.


Sebelum pandemi perputaran uang dalam komunitas Kampung Kue mampu mencapai Rp20 juta per hari. Sayangnya, saat wabah virus Corona melanda, hanya 10 persennya. Sekitar Juli 2021 ekonomi semakin membaik, akhirnya pada tahun 2022 ini Kampung Kue bisa bangkit kembali.


Mahpuduah menjelaskan, memang penghasilan setiap anggota berbeda-beda karena pengelolaannya diserahkan ke masing-masing individu. Tapi dengan banyaknya jumlah anggota, dan karakter bisnisnya ibu-ibu itu berbeda-beda, ada yang mempekerjakan karyawan bahkan ada juga yang masih memanfaatkan anggota keluarga masing-masing untuk membantu membuat kue.


Produk kue yang dihasilkan komunitasnya dibagi menjadi dua jenis: kue basah dan kue kering. Kue basah ada dadar mawar, pisang coklat, dadar gulung, kue lumpur, pandan fla, puding, onde-onde, muffin, apem, terang bulan, pastel, risoles, pie susu, pie apel, pie susu keju, donat dan masih banyak lainnya.Produk kue kering terdiri atas Almond Crispy, kacang, dan Cheese stick.


Untuk harga, Kampung Kue mematok di kisaran Rp1.500 – Rp4.500 untuk kue basah. Kue kering mulai dari Rp15.000 hingga Rp70.000.


“Ada kue-kue basah, ada juga kue-kue kering yang dihasilkan di kampung kue, yang bisa menjadi oleh-oleh khas Surabaya. Misalnya, almond crispy yang saya produksi, dan sudah menembus pasar Singapura melalui Bank Indonesia,” katanya.


Sebab kue kering itu sifatnya tahan lama dibanding kue basah, sehingga penjualannya bisa sampai ke luar negeri, selain hampir seluruh wilayah Indonesia. Seperti, Jakarta, Kalimantan, Bogor, Batam, Mataram, dan Bali. Tak hanya penjualan offline, komunitas Kampung Kue juga menjual berbagai produknya secara online, baik melalui media sosial seperti facebook, Instagram, dan WhatsApp. Anggota komunitas juga sudah mengikuti kelas-kelas digital marketing.