EmitenNews.com - Akhir-akhir ini, pergerakan pasar keuangan global diselimuti oleh berbagai sentimen. Dimulai dari rencana tapering The Fed akhir tahun ini, ketidakpastian seputar hambatan batas utang AS, krisis likuiditas perusahaan properti China, sampai krisis energi global yang telah mendorong harga minyak untuk naik ke level tertinggi sejak tahun 2014. Terlihat bahwa pemulihan sedang menghadapi berbagai tantangan baru. 


Di AS, data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan non-farm payrolls hanya bertambah 194 ribu pada bulan September. Sementara tingkat pengangguran AS turun ke level 4.8% dari 5.2% di bulan Agustus. Namun, peluang tapering di akhir tahun berpotensi tetap ada meskipun data ketenagakerjaan belum pulih, mengingat proyeksi suku bunga terbaru The Fed yang akan dinaikan lebih cepat dari proyeksi sebelumnya di tahun 2023. Ke depannya, pasar saham AS masih akan volatile di tengah sentimen yang ada. Musim laporan keuangan Q3 pun akan dimulai, dimana investor akan kembali mencermati permasalahan rantai pasokan global dan kekurangan tenaga kerja yang dialami perusahaan AS.


Dari dalam negeri, pelonggaran PPKM serta percepatan vaksinasi yang mencapai 2 juta dosis per hari berhasil mengendalikan pandemi di Indonesia. Penanganan yang baik turut mendukung aktivitas ekonomi di bulan September. Aktivitas pabrik di dalam negeri mulai ekspansif, dengan indeks PMI manufaktur yang naik ke angka 52.2. Sementara data inflasi juga tercatat naik 1.6% YoY. Bantuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) turut mendukung, yang mana 54.3% sudah berhasil tersalurkan per September 2021 dari total Rp 744.77 Triliun sepanjang tahun ini. 


IHSG berhasil menguat +2.22% ke level 6,286 di bulan September. Umumnya, secara historis pergerakan bulan September dibayangi oleh penurunan. IHSG berhasil menguat didukung oleh aliran dana investor asing yang deras sejak bulan lalu. Investor asing sendiri mencatatkan net buy sebesar Rp 4.3 Triliun di bulan September. Sektor energi yang dianggap sebagai old economy memimpin penguatan dari segi sektoral, seiring dengan melonjaknya harga komoditas batu bara dan minyak. Kenaikan sektor energi dan pemulihan permintaan domestik dengan pelonggaran PPKM, diharapkan akan mendorong kenaikan IHSG ke kisaran 6,500 hingga 6,700 hingga akhir tahun, kata Juky Mariska Wealth Management Head, Bank OCBC NISP (NISP).


Di akhir bulan September, imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun mengalami kenaikan, dari awal bulan di level 6.06% ke 6.26%. Kenaikan mengikuti imbal hasil US Treasury seiring dengan kekhawatiran akan inflasi. Untuk pasar obligasi, kami melihat real yield yang masih tinggi dan supply risk yang semakin menurun akan terus menjadi katalis positif bagi pasar obligasi Indonesia. Faktor-faktor tersebut sangat menarik bagi investor, terutama investor asing, sehingga imbal hasil obligasi diperkirakan dapat berada di kisaran 5.8-6.3% hingga akhir tahun.


Sementara itu, mata uang Rupiah melemah 0.32% sepanjang bulan lalu, dan ditutup pada level 14,313 di akhir bulan September. Di penghujung bulan September, Rupiah melemah merespon rilisan data PMI manufaktur China yang mengalami penurunan selama enam bulan beruntun. Di sisi lain, Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa di akhir September sebesar USD 146.9 Miliar, rekor tertinggi sepanjang sejarah. Hal tersebut diharapkan memberikan stabilitas pada nilai tukar Rupiah. Rupiah diperkirakan akan berada di kisaran 14,150 – 14,350 menutup tahun 2021, tutur Juky Mariska.


“Walaupun ada risiko jangka pendek akan pertumbuhan di AS dan China, prospek ekonomi tetap menguntungkan. Hal ini didukung oleh pemulihan global yang berlangsung dari pandemi dan bank sentral yang dovish, yang menoleransi tingkat inflasi yang sedikit diatas target dan menjaga kebijakan moneter tetap akomodatif.” Eli Lee Head of Investment Strategy, Bank of Singapore.


Dengan kita memulai kuartal keempat, kami tetap positif pada instrumen saham secara keseluruhan dalam strategi alokasi aset kami, dengan preferensi untuk ekuitas AS, dimana prospek pendapatan tetap didukung dengan baik oleh momentum pertumbuhan ekonomi yang kuat, ujar Eli Lee.


Pasah saham global mengalami tantangan di bulan September. Ketidakpastian atas Evergrande, developer terbesar kedua di China, menyebabkan memburuknya sentimen risiko secara global. Sementara kinerja pasar saham AS juga tertatih-tatih oleh kekhawatiran risiko fiskal dan kebijakan moneter. Meskipun demikian, kami terus mempertahankan posisi overweight kami di ekuitas dan melihat alasan untuk tetap optimis pada AS. Amerika Serikat Dengan volatilitas akhir-akhir ini dalam indeks S&P 500, kami percaya bahwa beberapa investor semakin khawatir atas potensi hambatan pajak mulai tahun 2022, tekanan margin perusahaan, risiko penurunan dari kebijakan moneter yang hawkish, dan transisi melewati puncak pertumbuhan ekonomi.


Namun, kami juga melihat beberapa optimisme bahwa kami percaya tingkat penurunan dalam siklus persediaan dan belanja modal serta pemulihan pasar tenaga kerja yang berkelanjutan memberikan ruang untuk pertumbuhan lebih lanjut.


Indeks MSCI Eropa telah terkoreksi seiring dengan kawasan utama seperti AS dan Asia selain Jepang. Hal tersebut sangat berfokus pada kondisi internasional, dan bergerak seiring dengan anomaly ekonomi global. Oleh karena itu, mengingat sikap risk-on kami yang moderat untuk ekuitas global, kami telah memilih untuk menjaga kawasan ini tetap netral, mengingat kami sudah overweight pada ekuitas AS.


Pemilihan Partai Demokrat Liberal (LDP) dimenangkan oleh Fumio Kishida. Perhatian pasar akan fokus pada pembentukan kabinet baru dan paket stimulus potensial. Normalisasi lebih lanjut dari kegiatan ekonomi karena dorongan vaksinasi Jepang yang meningkat juga harus mendukung pendapatan perusahaan, meskipun ekonom kami telah menyoroti risiko jangka pendek dari infeksi varian Delta. Secara keseluruhan, kami mempertahankan strategi bottom-up.


Pasar saham China diselimuti oleh panduan peraturan, kekurangan listrik dan ketidakpastian Evergrande pada bulan September. Kami percaya pasar akan membutuhkan waktu untuk mencerna dampaknya dan re-rating valuasi tidak mungkin dilakukan dalam waktu dekat. Kami mempertahankan preferensi relatif kami untuk ekuitas A-share dan mempertahankan sikap hati-hati terhadap industri dengan hambatan kebijakan. Namun, industri yang selaras dengan prioritas kebijakan baru China, harus mendapat dukungan.


Sementara itu Senior Investment Strategist, OCBC Bank Vasu Menon mengatakan, “Kami tetap skeptis bahwa kenaikan minyak saat ini adalah "siklus super". Kami memperkirakan kenaikan minyak akan berlanjut, meningkatkan perkiraan harga Brent untuk 3 bulan kami menjadi USD 85/barel tetapi penurunan kembali ke bawah USD 80 tetap mungkin terjadi dalam waktu satu tahun karena OPEC+ melepaskan pembatasan pasokannya dan produsen AS meningkatkan produksi".


Komoditas kembali menguat naik setelah kehilangan tenaga pada pertengahan 2021. Namun tidak mengalami kenaikan signifikan seperti awal tahun ini, kenaikan komoditas kemungkinan akan lebih terdiferensiasi. Kami tetap positif pada harga minyak untuk sisa tahun ini. Pertama, persediaan yang rendah menimbulkan risiko kenaikan yang signifikan untuk harga minyak dalam waktu dekat. Kedua, membaiknya COVID-19 dan latar belakang vaksinasi, baik di AS maupun global, memberikan ruang untuk optimisme baru atas pertumbuhan global. Ketiga, lonjakan harga gas alam, terutama di Eropa - sebagian karena berkurangnya pasokan gas Rusia - dapat memicu peralihan gas ke minyak bumi untuk pembangkit listrik dan menguntungkan harga minyak.


Pandemi COVID-19 yang semakin terkendali serta momentum pemulihan ekonomi diharapkan akan terus mendorong IHSG ke kisaran 6,500 hingga 6,700 hingga akhir tahun. Sementara real yield yang masih tinggi dan supply risk yang semakin menurun juga terus menjadi katalis positif bagi pasar obligasi Indonesia, sehingga imbal hasil obligasi diperkirakan dapat berada di kisaran 5.8-6.3% hingga akhir tahun, tutup Vasu Menon.