EmitenNews.com - Setoran pajak untuk negara bertambah lagi. Sampai Senin (28/3/2022), Negara menerima Rp4,55 triliun dari Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty Jilid II. Setoran itu berupa pajak penghasilan (PPh) yang berasal dari pengungkapan harta bersih senilai Rp44,61 triliun.


Dalam konferensi pers APBN KITA, Senin (28/3/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan wajib pajak yang mengikuti tax amnesty jilid II sebanyak 29.260. Dari total tersebut, DJP telah mengeluarkan 33.306 surat keterangan.


Deklarasi dari dalam negeri dan repatriasi yang dilakukan oleh wajib pajak sebesar Rp38,85 triliun dan deklarasi luar negeri sebesar Rp2,95 triliun. Dari situ dana yang diinvestasikan ke instrumen surat berharga negara (SBN) sebesar Rp2,82 triliun.


Menariknya, menurut Sri Mulyani, mayoritas peserta Tax Amnesty Jilid II adalah pegawai. Sisanya berasal dari sektor jasa profesional, perdagangan, dan industri pengolahan.


"Banyak juga pegawai yang belum sepenuhnya menyampaikan dan oleh karena itu mereka menggunakan kesempatan ini untuk mengungkapkan harta mereka sebelum 2016 sampai 2019," urai mantan Direktur Pengelola Bank Dunia itu.


Sementara itu, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan pemerintah menawarkan tiga jenis investasi untuk peserta tax amnesty jilid II, yakni surat berharga negara (SBN), hilirisasi, dan energi baru terbarukan (EBT).


"Sekarang masih dalam tahap untuk deklarasinya, tetapi investasi dapat dilakukan sampai September 2023," kata Luky Alfirman.


Khusus SBN, pemerintah menawarkan peserta tax amnesty jilid II setiap bulan. Ada tiga opsi yang bisa dipilih peserta. Pertama, SUN tenor 6 tahun berdenominasi rupiah. Kedua, sukuk tenor 20 tahun berdenominasi rupiah.


Ketiga, SUN tenor 10 tahun berdenominasi dolar AS. Namun, surat utang ini hanya bisa dipilih oleh peserta yang memiliki aset berupa valuta asing.


Pelaksanaan kebijakan pajak itu, ditelorkan berdasarkan Undang-Undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PPS Wajib Pajak.


Dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang direktur jenderal pajak belum menemukan data atau informasi mengenai harta yang dimaksud.


Harap dicatat, harta bersih yang dimaksud tersebut adalah nilai harta dikurangi dengan nilai utang. Hal itu seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.


Harta yang dilaporkan merupakan aset yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Nantinya, harta bersih itu akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan PPh final.


PPh final akan dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Tarif itu terdiri dari 6 persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan SDA, EBT, dan SBN.


Satu hal, 8 persen atas harta bersih di dalam negeri dan tidak diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN. Selanjutnya, 6 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan bahwa akan dialihkan dalam wilayah Indonesia serta diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN. ***