EmitenNews.com - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah, meminta pemerintah melakukan kajian ulang terkait rencana pelarangan ekspor batubara, karena tren kenaikan harga batubara akan meningkatkan pendapatan negara melalui penerimaan perpajakan.


"Sebagai negara ketiga terbesar penghasil batubara dunia, pemerintah malah menutup diri dengan melarang kebijakan ekspor batubara, setidaknya selama Januari 2022. Wajar bila sejumlah perusahaan batubara meradang dan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan pelarangan ekspor batubara," kata Said, di Jakarta, Senin (3/1).


Said mengatakan, seharusnya pemerintah terlebih dahulu memastikan ketersediaan cadangan batubara nasional melalui sejumlah produsen batubara besar, sehingga hal ini bisa memastikan kelangsungan suplai listrik nasional.


Sebagaimana diketahui, rencana larangan ekspor batubara disebut-sebut karena adanya laporan PT PLN (Persero) terkait rendahnya persediaan batubara di PLTU grup PLN berdasarkan surat PLN tertanggal 31 Desember 2021.


Said menyatakan, seharusnya PLN melakukan perencanaan dan memiliki prediksi atas supply and demand batubara nasional dan global, sehingga tidak secara tiba-tiba mengumumkan menipisnya cadangan batubara.


"Bila jauh-jauh hari PLN bisa memperbaiki perencanaan stok batubara, Kementerian ESDM tidak serta-merta menarik rem mendadak, melarang ekspor batubara," paparnya.


Dengan perencanaan stok batubara yang tidak baik dari PLN, maka lanjut Said, kenaikan Harga Batubara Acuan (HBA) tidak dapat menjadi berkah bagi perusahaan dan negara. "Padahal melalui ekspor batubara, negara menikmati tingginya pendapatan. Bahkan setelah 12 tahun kita shortfall pajak, pada 2021 penerimaan perpajakan tembus 100 persen dari target," ujar Said.


Dia menyebutkan, peningkatan penerimaan perpajakan tahun lalu bersumber dari kenaikan harga komoditas utama dunia, salah satunya batubara. "PLN dan Kementerian ESDM secepat mungkin wajib membenahi manajemen suplai batubara, agar larangan ekspor batubara tidak berlangsung lama. Kebijakan rem mendadak ini sangat tidak baik bagi iklim usaha," katanya.


Lebih lanjut dia menegaskan, PLN harus melakukan efisiensi, karena tidak adanya pesaing atau pemain tunggal di dalam negeri, maka PLN menjadi tidak kompetitif dan cenderung selalu membebani APBN .


"Keadaan ini sangat tidak baik. Sekadar untuk mengatur manajemen stok batubara saja tidak kompeten, apalagi harus bersaing menghadapi berbagai tantangan ke depan," tutur dia.


Said mempertanyakan kemampuan dan peran PLN, jika sejumlah negara maju seperti China, Jepang, Korea Selatan dan Jerman segera memproduksi power bank untuk konsumsi listrik rumah tangga dengan harga murah, atau harga solar panel menjadi lebih ekonomis.


"Akibat kebijakan pelarangan ekspor ini, kita tidak bisa menikmati berkah devisa. Padahal peluang perolehan devisa dari ekspor batubara sebesar USD3 miliar per bulan. Hal ini belum menghitung pendapatan pajak dan bukan pajak yang didapatkan pemerintah. Padahal dari sisi fiskal, pendapatan negara itu sangat kita butuhkan pada 2022 untuk membenahi fiskal yang terkoreksi oleh beban pembiayaan utang akibat pandemi Covid-19," tutur Said.


Menurut dia, pelarangan ekspor batubara juga akan menjadi beban sejumlah perusahaan perkapalan. Perusahaan akan terkena biaya tambahan terkait penambahan waktu pemakaian (demurrage) sekitar USD20.000-40.000 per hari untuk satu unit kapal.


"Reputasi dan keandalan Indonesia sebagai pemasok batubara dunia akan dipertanyakan. Sehingga, berbagai komitmen pembelian batubara dari Indonesia akan dipertanyakan. Eksportir batubara pasti akan kena penalti akibat kebijakan penghentian pengiriman. Alih-alih menikmati berkah kenaikan batubara, mereka malah kena getah penalti dari buyer di luar negeri," kata Said.


Pada semester II-2021 hingga awal 2022, menurut Said, harga batubara menunjukkan tren kenaikan. Sebagaimana diketahui, HBA pada September 2021 senilai USD150,03 per ton atau meningkat dibanding Agustus 2021 senilai USD130,99 per ton. Pada Desember 2021, HBA sebesar USD159,79 per ton.


"Pada 2022 ini, saya memperkirakan batubara masih menjadi produk primadona, sebab tidak serta-merta negara negara maju mengganti PLTU mereka. Terlebih tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang membuat fiskal cekak, maka PLTU masih akan dipertahankan," kata dia.


"Saya memperkirakan harga batubara masih di atas USD120 per ton, karena La Nina yang diprediksi berlangsung lama akan mengakibatkan permintaan suplai listrik tetap tinggi."