EmitenNews.com - Menteri Sosial Saifullah Yusuf merespon keriuhan yang ditimbulkan oleh adanya ketimpangan data garis kemiskinan yang sangat jauh antara Badan Pusat Statistik dan Bank Dunia. Gus Ipul menyambut positif mengenai usulan perubahan cara perhitungan BPS, dalam menghitung angka garis kemiskinan, yang dinilai timpang jauh itu. 

"BPS kan sudah menyatakan akan menerima masukan-masukan untuk memperbaiki indikator. Saya kira itu satu hal yang positif dan kita sambut baik. Kita tentu menjadikan data BPS sebagai referensi, sebagai pedoman," kata Gus Ipul, di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (29/7/2025).

Gus Ipul menilai, BPS juga terus melakukan upaya nyata untuk memperbaiki indikatornya. "Sekarang ini sedang menuju ke arah sana, kita tunggu saja. Bagi kami di kementerian, akan mengikuti apa yang telah menjadi keputusan dari BPS."

Yang jelas, menurut Gus Ipul, perubahan indikator memang diperlukan untuk mengikuti perkembangan zaman sehingga pihaknya mendukung jika ada kesesuaian data yang dilakukan.

Masalahnya nanti kalau indikatornya dinaikkan, pasti ada efek terhadap kinerja secara statistik. Misalnya, saat ini ukurannya Rp500.000, terus tiba-tiba kita lagi kerja dinaikkan jadi Rp700.000.

"Kayak kemarin itu kemiskinan ekstrim yang sebelumnya itu 300 sekian, naik jadi 400. Maka kalau diukur pada waktu yang sama jadi kelihatan naik gitu, padahal yang dinaikkan adalah ukurannya," kata eks Wagub Jawa Timur itu.

Namun, Mensos berpesan ketika mengubah indikator perhitungan tetap ditunjukkan perhitungan dengan indikator lama. Ini penting, agar nantinya tak terjadi gejolak statistik.

BPS tengah menyiapkan penyempurnaan metode perhitungan kemiskinan. Rencananya metode baru itu akan diimplementasikan pada 2026. 

"Kami terus berproses pembahasan berbagai masukan, baik dari institusi lain seperti Bappenas atau para pakar. Kami terus mengadopsi masukan dalam rangka penyempurnaan metode, perhitungan kemiskinan," kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono, saat konferensi pers, Jumat (25/7/2025).

Ini perbedaan perhitungan angka kemiskinan BPS versus Bank Dunia

Seperti diketahui terdapat perbedaan angka kemiskinan Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Namun, hitungan keduanya ternyata tidak salah.

Dalam laporan tahun 2024, Bank Dunia menyebutkan 60,3% penduduk Indonesia atau 171,8 juta jiwa masyarakat Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Sedangkan BPS menyebutkan yakni 8,57% atau 24,06 juta jiwa per September 2024.

BPS menjelaskan angka keduanya muncul karena perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan tujuan berbeda. Bank Dunia, misalnya, menggunakan standar yang disesuaikan dengan daya beli (purchasing power parity atau PPP).

Jadi data yang didapatkan menghitung standar negara upper-middle income, yakni USD6,85 per kapita per hari. BPS menyebutkan, nilai dolar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. USD1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03," ujar BPS dalam keterangan resminya.

Sedangkan BPS menghitung berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis Kemiskinan dihitung dengan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan. Komponennya minimal 2.100 kilo kalori per orang per hari, terdiri dari beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur.

Untuk komponen nonmakanan terkait kebutuhan minimum pada tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian dan transportasi.