EmitenNews.com - Bank Indonesia melihat tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan sehingga mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang lebih agresif.


"Kenaikan Fed Funds Rate yang diprakirakan lebih tinggi dengan siklus yang lebih panjang (higher for longer) mendorong semakin kuatnya mata uang dolar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan atau depresiasi terhadap nilai tukar di berbagai negara, termasuk Indonesia," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, usai memimpin Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI edisi September 2022, Kamis (20/10).


Tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin tinggi dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat, dan di negara EMEs termasuk Indonesia diperberat pula dengan aliran keluar investasi portofolio asing.


Pertumbuhan ekonomi global melambat disertai dengan tekanan inflasi yang tinggi dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Setelah membaik di tahun 2022, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 diprakirakan akan lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, bahkan disertai dengan risiko resesi di beberapa negara.


Revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi terjadi di sejumlah negara maju terutama Amerika Serikat (AS) dan Eropa, dan juga di Tiongkok. Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif.


Dampak rambatan dari fragmentasi ekonomi global diprakirakan juga akan menyebabkan perlambatan ekonomi di Emerging Markets (EMEs).


Namun di tengah perlambatan ekonomi tersebut perbaikan ekonomi domestik terus berlanjut. Perekonomian domestik pada triwulan III diprakirakan terus membaik ditopang oleh peningkatan konsumsi swasta dan investasi nonbangunan, tetap kuatnya ekspor, serta daya beli masyarakat yang masih terjaga di tengah kenaikan inflasi.


Berbagai indikator bulan September 2022 dan hasil survei Bank Indonesia terakhir, seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur mengindikasikan terus berlangsungnya proses pemulihan ekonomi domestik.


Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diprakirakan tetap kuat, khususnya batu bara, CPO, serta besi dan baja seiring dengan permintaan beberapa mitra dagang utama yang masih kuat dan kebijakan Pemerintah untuk mendorong ekspor CPO dan turunannya.


Secara spasial, kinerja positif ekspor ditopang oleh seluruh wilayah, terutama Kalimantan dan Sumatera, yang tetap tumbuh kuat. Perbaikan ekonomi nasional juga tercermin pada kinerja lapangan usaha utama, seperti Perdagangan, Pertambangan, dan Pertanian.


Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2022 diprakirakan tetap bias ke atas dalam kisaran proyeksi Bank Indonesia pada 4,5 - 5,3%.


Pertumbuhan ekonomi pada 2023 diprakirakan tetap kuat didorong oleh solidnya permintaan domestik sejalan dengan terus meningkatnya mobilitas dan berlanjutnya penyelesaian Program Strategis Nasional (PSN), di tengah lebih dalamnya perlambatan perekonomian global.(fj)