EmitenNews.com - Tidak murah untuk mencapai emisi nol persen. Dunia membutuhkan investasi sedikitnya USD125 triliun untuk pengelolaan perubahan iklim, demi mencapai emisi nol bersih pada 2050. Kebutuhan investasi yang sangat besar ini disimpulkan berdasarkan data The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).


Dalam Webinar T20 Indonesia di Jakarta, Kamis (2/6/2022), Lead Co-Chair Think 20 (T20) Indonesia, Bambang Brodjonegoro mengemukakan, besaran dana itu, termasuk investasi tahunan sebesar USD32 triliun pada enam sektor utama penyumbang sepertiga dari produk domestik bruto (PDB) dunia tahun 2021.


Keenam sektor itu adalah listrik yang membutuhkan USD16 triliun, transportasi USD5,4 triliun, gedung USD5,2 triliun, industri USD2,2 triliun, bahan bakar emisi rendah USD1,5 triliun. Lainnya, agrikultur, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya sebesar USD1,5 triliun.


Think 20 (T20) adalah salah satu engagement group dalam Presidensi G20 Indonesia 2022. Engagement group T20 ini dibentuk untuk memecahkan berbagai masalah global melalui pemikiran para ilmuwan dan peneliti dari seluruh dunia.


Menurut Bambang Brodjonegoro, meski dibutuhkan investasi sangat besar, masih terjadi kesenjangan yang lebar dalam kapasitas pembiayaan ekonomi hijau, antara negara-negara sedang berkembang dengan negara-negara maju. Kapasitas ekonomi negara-negara berkembang lebih rendah daripada negara maju, karena mereka memiliki kapasitas fiskal dan moneter yang lebih kecil.


Repotnya, saat ini, kesenjangan itu semakin diperlebar dengan merebaknya wabah Covid-19. Sebab, penyebaran virus yang awalnya dikabarkan berasal dari Wuhan, Hubei, China itu, telah mengambil ruang pembiayaan, dan membutuhkan tindakan transisi iklim lebih besar. Padahal, banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah yang berkomitmen terhadap dekarbonisasi, sering terhambat oleh ruang fiskal terbatas, dan kendala pembiayaan eksternal mengikat.


Sebelum merebaknya wabah Covid-19, upaya dekarbonisasi dalam skala besar di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, telah mengorbankan anggaran lain yang penting untuk pembangunan ekonomi jangka panjang. Di antaranya, infrastruktur dasar, sekolah, dan rumah sakit.


Alhasil, ketika wabah Covid-19 merebak, kendala fiskal yang dihadapi negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah pun semakin parah. Karena itu, kata Bambang Brodjonegoro, kolaborasi antar negara sangat diperlukan untuk menjawab tantangan perubahan iklim ini. ***