EmitenNews.com - Perkembangan teknologi yang sangat pesat di bidang Artificial Intelligence (AI) tak hanya memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, namun juga disertai munculnya potensi risiko. Karena itu, perlu penguatan regulasi. Bahasan terkait AI salah satu topik utama yang menjadi sorotan dalam gelaran World Economic Forum 2024, di Davos, Swiss pada 15-19 Januari 2024. Dirut BRI Sunarso turut hadir mendiskusikan masalah AI.

 

Dalam rilisnya Kamis (25/1/2024), Direktur Utama BRI Sunarso yang hadir dalam event tersebut memberikan pandangan bahwa keberadaan AI berdampak meningkatkan produktivitas dan efisiensi di tubuh perseroan. Salah satu produk hasil transformasi digital BRI yang terkait dengan AI yakni BRIBRAIN. 

 

BRIBRAIN merupakan “pusat otak digital” BRI yang mengkonsolidasikan kapabilitas AI dan analitik, untuk meningkatkan customer engagement, anti-fraud & risk analytics, credit underwriting, hingga automasi untuk smart services & operations.

 

”AI Recommendation System yang dimiliki BRI telah diimplementasikan untuk memilih calon nasabah potensial berdasarkan data seperti jumlah simpanan, portofolio pinjaman, demografi dan lokasi. Dampaknya, penggunaan AI mampu meningkatkan conversion rate sebesar 60% dan meningkatkan kualitas akuisisi debitur 49%,” jelas Sunarso.

 

Contoh lain adalah pemanfaatan AI pada BRImo. AI digunakan dalam memberikan rekomendasi transaksi serta penawaran produk yang customize sesuai profil nasabah. Pemanfaatan AI tersebut terbukti mampu mengakselerasi kinerja BRImo. Saat ini BRImo telah menjelma sebagai super apps serba bisa yang telah digunakan oleh 31,6 juta users dengan volume transaksi mencapai Rp4.158 triliun atau tumbuh 55,8% yoy per Desember 2023.

 

Di sisi lain, Sunarso juga menyoroti terkait pembatasan regulasi terkait AI sebagai upaya preventif mencegah terjadinya kejahatan di masa mendatang. Karena itu, ia mengaku termasuk yang gelisah sedikit, mengenai pentingnya regulasi dalam masalah ini.

 

“Itu mesin memang bisa melakukan dan mengerjakan ribuan algoritma, tapi kelemahannya tetap dia tidak punya perasaan. Ketika data yang masuk tanpa perasaan, dimanipulasi, dan itulah yang terjadi di cyber crime. Ada orang yang lebih pintar dari pencipta AI itu, tetapi menggunakannya untuk cyber crime,” imbuh Sunarso.

 

Sunarso memiliki tiga strategi untuk mengurangi potensi risiko dari keberadaan AI. Satu yaitu regulasi. Kedua, kemampuan teknis manusia untuk menyaring data yang akan dimasukkan ke engine AI. Ketiga compliance barang siapa yang mengendalikan AI harus dipastikan paham betul terkait compliance bukan lewat peraturan tapi melalui hati nurani.

 

“Jadi, strategi jangka panjang, BRI tetap akan menerapkan strategi hybrid. Menggunakan otak mesin yang tugasnya mengerjakan pekerjaan rumit dan berulang. Tapi menyimpulkan hasil akhir dan menentukan keputusan tetap harus manusia,” jelas Sunarso.