IHSG di Tengah Krisis Global: Ikut Panik atau Temukan Peluang?

IHSG mengalami koreksi. Foto/Rizki EmitenNews
EmitenNews.com -Tahun 2025 menjadi salah satu tahun paling bergejolak dalam sejarah geopolitik dan ekonomi dunia. Rentetan krisis dan konflik melanda tanpa henti, menciptakan efek domino yang mengguncang pasar keuangan global, termasuk pasar saham Indonesia. Dari perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan sejumlah negara, konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina, hingga yang terbaru, meletusnya perang terbuka antara Israel dan Iran—yang kesemuanya membawa ketidakpastian yang menekan investor.
Indonesia, sebagai negara berkembang yang terbuka terhadap arus perdagangan dan investasi global, tidak dapat menghindar sepenuhnya dari dampak gejolak politik dunia. Ketiga krisis di atas telah memberikan tekanan besar pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Ambil contoh ketika terjadi perang dagang AS dengan sejumlah negara, dampak langsung ke IHSG adalah terjadi aksi jual asing serta terjadi pelemahan rupiah. Adapun sektor yang tertekan yaitu sektor teknologi, otomotif, dan barang konsumsi non primer—terutama emiten yang sangat bergantung pada ekspor dan bahan baku impor. Sedangkan pada gejolak politik yang terjadi antara Israel dan Palestina berdampak pada harga minyak dan emas yang naik. Kekhawatiran akan terganggunya pasokan dari Timur Tengah menyebabkan harga Brent menyentuh USD 115 per barel pada Maret 2025. Investor global mulai menjual aset berisiko dan mengalihkan dana ke aset safe haven seperti emas, obligasi negara maju, dan dolar AS. Adapun sektor yang tertekan seperti transportasi dan industri.
Terbaru, perang Israel dan Iran membuat pasar modal benar-benar gemetar. Harga minyak melonjak ke USD 135 per barel, tertinggi sejak 2011. Bursa Saham Asia serentak merah, dengan indeks-indeks utama turun 3-6% dalam satu pekan. Investor global panik. Dana asing keluar. IHSG sempat turun lebih dari 4% dalam tiga hari perdagangan. Saham-saham blue chip mengalami tekanan jual. Namun, seperti sebelumnya, tak semua sektor terpuruk. Saham-saham komoditas kembali bersinar . Harga emas melesat ke USD 2.400 per troy ounce. Emiten batu bara juga menikmati reli karena kekhawatiran pasokan energi global.
Hal ini menandakan bahwa IHSG bukan hanya korban gejolak global, tapi juga menjadi medan yang subur bagi peluang investasi jangka menengah dan panjang. Satu benang merah yang bisa ditarik adalah setiap krisis menciptakan peluang baru bagi investor yang sabar, rasional, dan berstrategi.
Beberapa pola yang bisa kita amati, misalnya saja terjadi konflik dan ketegangan geopolitik, ini cenderung menguntungkan sektor energi, pertambangan, dan komoditas. Jika terjadi volatilitas pasar saham akan menyebabkan rotasi aset ke sektor defensif seperti sektor perbankan, konsumer, dan infrastruktur domestik. Sedangkan jika terjadi kekhawatiran makroekonomi akan menurunkan valuasi banyak saham bagus. Saham-saham yang sebenarnya memiliki fundamental kuat ikut dijual karena sentimen. Ini menciptakan kondisi yang disebut ‘oversold’—dimana harga saham jauh di bawah nilai wajarnya. Bagi investor jangka panjang, inilah momen emas untuk mengakumulasi saham berkualitas.
Investor berpengalaman tidak hanya melihat angka merah sebagai sinyal bahaya, tapi juga sebagai pintu masuk. Ketika mayoritas orang pada panik dan menjual, saat itulah investor cerdas mulai menyusun posisi. Mereka memahami bahwa dalam setiap gejolak besar, harga-harga saham seringkali jatuh bukan karena kinerja perusahaannya yang memburuk, tetapi karena ketakutan kolektif yang membutakan pasar. Inilah momen langka ketika saham-saham hebat bisa dibeli dengan harga diskon. Mereka bukan hanya menunggu harga ‘bottom’, tapi juga mulai mengakumulasi perlahan, dengan strategi dan keyakinan. Di saat pasar ribut dengan berita negatif dan grafik yang menurun, investor berpegalaman justru membaca peluang yang tersembunyi di balik sentimen.
Setiap penurunan tajam yang dipicu oleh sentimen sementara sering kali diikuti oleh pemulihan yang jauh lebih besar. Bagi investor yang mampu melihat di balik kabut ketidakpastian, pasar saham—khususnya IHSG—akan selalu menyediakan jalan menuju keuntungan jangka panjang.
Untuk bisa bertahan dan bahkan meraih keuntungan di tengah kondisi global yang tidak menentu, investor perlu menerapkan strategi yang disiplin dan terukur. Ada beberapa pendekatan strategis yang dapat diterapkan:
1. Analisa Makro dan Mikro
Investor yang hanya melihat grafik saham tanpa memahami konteks makro dan fundamental perusahaan akan mudah panik. Sebaliknya, dengan memahami faktor global dan laporan keuangan emiten, keputusan investasi bisa jauh lebih bijak.
2. Diversifikasi
Diversifikasi menjadi perisai utama terhadap risiko sistemik. Kombinasi sektor siklikal, defensif, dan pertumbuhan akan memperkecil risiko kerugian total dalam portofolio.
3. Averaging Down Saat Panic Selling
Ketika saham turun tajam namun fundamental tidak berubah, strategi dollar cost averaging menjadi sangat relevan. Investor bisa membeli secara bertahap di harga rendah, sehingga saat harga pulih, imbal hasil akan lebih optimal.
4. Fokus Jangka Panjang
Investasi bukan soal menang hari ini, tapi soal akumulasi kekayaan dalam 3-4 tahun ke depan. Investor legendaris seperti Warren Buffett dan Lo Kheng Hong pun tumbuh kaya, bukan hanya membeli di waktu yang tepat, tetapi juga dikarenakan kesabaran saat pasar panik.
Terlepas dari tekanan global, Indonesia masih menyimpan banyak daya tarik fundamental yang menjadikannya salah satu pasar berkembang paling menjanjikan. Indonesia memiliki demografi muda dan produktif, konsumsi domestik, kebijakan fiskal dan moneter yang stabil, komoditas alam yang melimpah, dan transformasi digital yang terus berkembang. Semua ini menjadi fondasi yang kuat untuk pertumbuhan IHSG dalam jangka panjang.
Related News

IPO Hype: Antara Euforia dan Rasionalitas dalam Investasi Awal

PKPU: Apa yang Perlu Diketahui Investor Tentang Proses dan Risikonya?

Kerugian BUMN: Kerugian Keuangan Negara atau Hanya Risiko Bisnis?

Indonesia Raja Nikel: Harusnya Kaya Raya?

Energi Hijau dan Pasar Saham: Diantara Harapan dan Kerusakan

Inflasi Makin Jinak, Tapi Harga Gak Kunjung Turun: Kenapa Bisa Begitu?