IUP Sah! Pakar Agraria Sebut PT ANA Tak Langgar Hukum

ilustrasi perkebunan sawit. DOK/ISTIMEWA
EmitenNews.com -Polemik atas legalitas dan tanggung jawab lingkungan PT Agro Nusa Abadi (ANA), anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), kembali mencuat menyusul gugatan hukum oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia terhadap salah satu bank negeri. Namun analisis hukum dari pakar agraria nasional serta hasil investigasi independen menunjukkan narasi yang berbeda.
TUK mempertanyakan legalitas berupa Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang menjadi dasar bagi PT ANA sejak 2007 dalam menjalankan usahanya dan bukannya Hak Guna Usaha (HGU). Dasar gugatan mengacu pada laporan WALHI dan Friend of The Earth (FOE) terkait tiga anak usaha AAL di Sulawesi tahun 2022 lalu.
Pakar agraria dan mantan Direktur Jendral Pengadaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN), Profesor Budi Mulyanto menjelaskan bahwa Izin Usaha Perkebunan (IUP) juga merupakan dasar hukum yang sah untuk memulai kegiatan usaha.
“Dalam sistem hukum pertanahan Indonesia, IUP dan Izin Lokasi adalah dasar yang cukup kuat untuk memulai usaha. Hak Guna Usaha (HGU) adalah proses lanjutan, bukan prasyarat absolut, terlebih bila merujuk pada aturan yang berlaku pada saat itu,” jelasnya.
Budi yang saat ini juga menjabat sebagai Rektor Universitas Harapan Bangsa menyatakan sebagaimana tertulis di Pasal 42 UU No. 39/2014 tentang Perkebunan dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi MK) No. 138/PUU-XIII/2015. Bahkan menurutnya, Putusan MK tersebut semakin memperjelas bahwa izin usaha dan hak atas tanah adalah dua entitas hukum yang tidak saling menggantung.
Lebih lanjut, Budi menegaskan Penegakan hukum tidak dapat dilakukan secara retroaktif terhadap perusahaan yang beroperasi berdasarkan aturan yang sah di masanya.
“Tidak bisa satu perusahaan dianggap ilegal hanya karena belum punya HGU, padahal IUP-nya terbit sah sebelum peraturan baru diberlakukan. Menilai kegiatan legal masa lalu dengan standar hukum baru yang belum berlaku saat itu adalah bentuk pelanggaran asas non-retroaktif. Tidak boleh ada pembalikan waktu hukum,” Tegasnya.
Verifikasi Independent: PT ANA tak terbukti langgar aturan dan Perlihatkan upaya konstruktif
Untuk memastikan transparansi dan objektivitas, EcoNusantara (ENS), sebuah lembaga pihak ketiga yang independen, ditunjuk untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap tuduhan yang dilayangkan. Laporan mereka, yang dirilis pada Oktober 2023, menyajikan temuan kunci yang berbeda dari narasi yang beredar.
Chief Executive Officer EcoNusantara, Zulfahmi, menyatakan, "Data dan fakta yang dijadikan dasar keluhan oleh LSM tidak dapat dibuktikan secara jelas di lapangan. Banyak pihak yang terlibat bahkan tidak memahami keluhan secara komprehensif."
Zulfahmi menegaskan bahwa Kesimpulan hasil verifikasi lapangan ENS tidak ditemukan adanya bukti pelanggaran HAM, deforestasi ilegal, maupun pelanggaran lingkungan oleh PT ANA.
“Lokasi operasional PT ANA berada di APL (Areal Penggunaan Lain), bukan kawasan hutan. Tidak ada bukti penutupan sungai atau pengusiran masyarakat. Justru kami melihat adanya mekanisme penyelesaian konflik yang aktif dan terbuka,” ujar Zulfahmi.
ENS juga mencatat bahwa PT ANA telah memiliki dokumen AMDAL sejak 2008, menjalankan pendekatan penyelesaian konflik sosial secara damai, dan membentuk mekanisme pengaduan aktif yang terbuka bagi masyarakat lokal. Laporan yang dirilis Oktober 2023 tersebut menyebutkan bahwa konflik sosial yang muncul sebagian besar dipicu oleh banyak klaim tumpang tindih lahan PT ANA yang berasal dari SKT (Surat Keterangan Tanah) informal yang tidak melalui verifikasi legal maupun spasial, serta tidak selalu terdaftar dalam sistem agraria resmi.
Sementara itu, melalui pernyataan publik yang diakses melalui website AAL, perusahaan induk PT ANA tersebut menegaskan komitmennya terhadap operasional yang bertanggung jawab. Sebagai perusahaan terbuka, Dinyatakan bahwa seluruh kegiatan perusahaan dilaksanakan berdasarkan perizinan resmi dan kepatuhan terhadap hukum di Indonesia dan memberikan keterbukaan terhadap publik dengan mengacu pada prinsip Good Corporate Government (GCG).
Terkait dengan tuduhan kepada tiga anak usahanya di Sulawesi termasuk PT ANA, Perusahaan bersikukuh untuk mengajak semua pihak secara konstruktif duduk bersama termasuk LSM WALHI dan FOE. Selain dialog, saat ini PT ANA juga dalam pengurusan HGU, menyelesaikan ganti rugi dan melakukan audit sosial.
Perusahaan juga yakin, dalam memulai usaha PT ANA telah mematuhi prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam konteks hukum Indonesia. Ini difasilitasi melalui Panitia B, sebuah forum legal yang melibatkan pemerintah daerah, BPN, dan masyarakat lokal untuk memastikan proses pelepasan lahan berjalan transparan dan adil. Perusahaan juga telah membuat rencana aksi sebagai tindak lanjut dari laporan verifikasi lapangan ENS.
Related News

Pemerintah Indonesia-Arab Saudi Sepakati Kerja Sama Energi Bersih

Kasus Gratifikasi Pengadaan, KPK Tetapkan Eks Sekjen MPR Tersangka

Buka Posko Pengaduan, FKBI Siap Bawa Gold’s Gym ke Jalur Hukum

Gugur Akibat Serangan Israel, Duka Untuk Direktur RS Indonesia di Gaza

Kejati Tetapkan Alex Noerdin Tersangka Kasus Korupsi Pasar Cinde

Indonesia–Arab Saudi Sepakati Kerjasama Investasi Senilai USD27 Miliar