Namun laporan ini tidak direspon hingga pada  rapat dengan komisi VII DRR RI tahun 1999. Secara kedudukan hukum tegas Hardjuno, Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP) SEA Games bukanlah badan hukum.

 

"PT Pelaksana KMP lah yang secara hukum memiliki kedudukan hukum, dalam hal ini PTTata Insani Mukti," terangnya.

 

Terkait gugatan TUN aquo, sebagai pribadi Bambang Trihatmodjo keberatan jika dianggap bertanggung jawab atas hubungan hukum secara langsung antara konsorsium dengan negara. Jika itu dianggap merupakan kewajiban maka hal tersebut adalah kewajiban PT. Tata Insani Mukti sebagai subyek hukum.

 

Bahkan kata Hardjuno, Bambang Trihatmodjo juga telah menuntut PT. Tata Insani Mukti. Putusannya telah inkrach di PN Jakarta Selatan. Karena uang pribadi Bambang Trihatmodjo banyak dipakai sehingga layak meminta pertanggungung jawaban atas penggunaan dana Rp 156 Miliar yang digunakan Konsorsium untuk pelaksanaan Sea Games XIX 1997.

 

"Jadi, persoalan ini harus secara komprehensif yuridis, politis, sosiologis historis ditelaah dan dikaji kembali. Mengingat SEA Games XIX adalah kepentingan dan hajat negara dan Indonesia menjadi juara umum," tegasnya.

 

SEA Games XIX ini sangat istimewa  jika dibandingkan dengan SEA Games lainnya. Justru negara awalnya tidak mengeluarkan dana APBN malah dicarikan dana oleh konsorsium untuk pelaksanaannya.

 

"Coba di bandingkan dengan SEA Games 2011. Sumber pendanaan  dari APBN. Kalau dibandingkan secara proporsional, besaran dana SEA Games 2011 ini sangatlah besar dibandingkan dengan SEA Games XIX lalu," pungkasnya.