EmitenNews.com - Penyidikan kasus korupsi proyek fiktif PT Waskita Karya terus berlanjut. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita aset mantan Direktur Utama PT Waskita Karya, Destiawan Soewardjono. Di antaranya, mobil Peugeot 3008 milik tersangka korupsi itu, dibawa ke Gedung Bundar, Kejagung, Jakarta.

 

Dalam keterangannya yang dikutip Sabtu (27/5/2023), Kepala Subdirektorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Haryoko Ari Prabowo, mengungkapkan, agenda penyitaan dilakukan secara bertahap. Semua aset yang diduga berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersangka men­jadi fokus penyidik.

 

Mobil putih yang disita itu berpelat nomor B 1814 RKB. Kendaraan buatan tahun 2021 ini berstatus kendaraan ketiga, yang berarti Destiawan masih memiliki dua mobil lainnya.

 

Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang disetorkan ke KPK, Destiawan melaporkan memiliki tiga kendaraan roda empat. Selain Peugeot 3008, dua mo­bil lainnya adalah Morris Minor Minibus tahun 1964, dan mobil Toyota Camry 2.5 L Hybrid ta­hun 2016. 

 

Kedua mobil lainnya, tidak disita. Haryoko menjelaskan penyidik melakukan penyitaan secara hati-hati. Aset yang disita diduga diperoleh dari hasil korupsi. Penyidik harus mengantongi buktinya.

 

Seperti diketahui Destiawan Soewardjono ditetapkan sebagai tersangka penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank yang dilakukan PT Waskita Karya dan PT Waskita Beton Precast kurun 2016 -2020.

 

Penyidik menduga Destiawan Soewardjono mencairkan dana pembiayaan proyek fiktif dari berbagai bank mengguna­kan dokumen abal-abal.

 

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyatakan, modus tersangka Destiawan serupa dengan yang terjadi di PT Waskita Beton Precast. Tersangka diduga menyele­wengkan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank untuk kegiatan pekerjaan fiktif. 

 

Destiawan Soewardjono dinilai paling bertanggung jawab atas proses pembiayaan dan pemanfaatan dana proyek. Anggaran proyek didapat melalui fasilitas perbankan. Selaku pimpinan perusahaan infrastruktur milik negara, tersangka dianggap melawan hukum lan­taran memerintahkan dan me­nyetujui pencairan dana supply chain financing (SCF).