EmitenNews.com - Komisi VII DPR RI mempertanyakan berbagai permasalahan industri baja tanah air kepada Direktur PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Di antaranya terkait berhentinya operasi PT Meratus Jaya Iron & Steel, serta mangkraknya proyek blast furnance yang telah dirilis sejak tahun 2008 dan telah dilakukan kegiatan konstruksi pada tahun 2012.

 

“PT Meratus Jaya Iron & Steel yang sempat berproduksi selama kurang lebih 3 tahun, dari 2012 sampai 2015 dan telah melakukan pengiriman perdana produksi sponge iron (besi spon) sebanyak 5000 metrik ton ke Krakatau steel. Namun sejak tahun 2015 hingga sekarang perusahaan tersebut tidak beroperasi lagi karena kendala bahan baku infrastruktur dan pemasaran,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Haryadi saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Direktur PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) di ruang rapat Komisi VII DPR, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (14/2/2022).

 

Dijelaskannya, PT Meratus Jaya Iron & Steel di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan merupakan perusahaan patungan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) dengan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). PT Meratus Jaya Iron and Steel inilah yang bertugas memenuhi kebutuhan bahan baku sponge iron yang merupakan bahan baku utama industri baja. Selain itu, Komisi VII DPR juga mempertanyakan mangraknya proyek blast furnance yang telah dirilis sejak tahun 2008 dan telah dilakukan kegiatan konstruksi pada tahun 2012. Namun hingga kini belum beroperasi.

 

“Mangkraknya proyek tersebut mengakibatkan beban kerugian yang harus ditanggung PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) yang mencapai 850 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp12,75 triliun. Padahal proyek blast furnance ini memiliki peran yang penting dalam upaya menekan bahan baku iron steel dan menghemat biaya produksi, karena penggunaan bahan baku lokal,” tambah politisi Partai Gerindra tersebut.

 

Walaupun Indonesia memiliki industri baja seperti Krakatau Steel (KRAS), lanjut Bambang, namun kondisi baja nasional saat ini dihadapkan pada permasalahan tingginya impor baja. Mengutip data BPS, volume baja impor sampai kuartal 3 tahun 2021 tercatat sebesar 4,3 juta ton atau naik 20 persen dibanding periode yang sama tahun 2020, sebesar 3,6 juta ton. Dari peningkatan tersebut porsi impor terbesar merupakan baja rolled coil yang mencapai 1,33 juta ton atau mengalami kenaikan 63 persen dibanding tahun 2020 yang hanya 812 ribu ton.

 

Bambang menyebut, terjadinya peningkatan impor baja yang tidak terkendali tersebut akan berdampak pada tingkat utilisasi industri baja nasional. Oleh karena itu, Komisi VII DPR bersama pemerintah dan pihak terkait akan mencari penyebab dan solusi atas masalah tersebut. “Kami memang ada Panja Pengawasan Bahan Baku Industri, namun untuk produk baja ini kita agendakan setelah produk pangan terlebih dahulu. Namun harus kita garis bawahi tetap akan kita panggil,” tegas legislator dapil Jawa Timur IV tersebut.

 

Direktur Utama Krakatau Steel (KRAS) Silmy Karim mengenai proyeknya yang mangkrak. Nilai investasi proyek-proyek tersebut mencapai triliunan rupiah. Silmy Karim menyampaikan, pada 2008 pihaknya memulai pengadaan proyek Blast Furnace Complex di Cilegon, Banten, untuk memberikan input hot metal dalam fasilitas ironmaking eksisting berbasis gas alam. Komisi VII DPR akan menginvestigasi proyek mangkrak tersebut.

 

Tidak main-main, ruang lingkup proyek ini, pembangunan 4 pabrik utama terintegrasi, yaitu sinter plant, coke oven plant, blast furnace plant, dan hot metal treatment plant.

 

Penandatanganan Engineering Procurement and Construction (EPC) dimulai pada 15 November 2011, kemudian proses peletakan batu pertama (groundbreaking), Juli 2012, dilanjutkan dengan proses konstruksi. Pabrik blast furnace ini beroperasi secara komersial pada 11 Juli 2019. Tetapi, dihentikan pada 14 Desember 2019. Sayang sekali tentu saja. Pasalnya, nilai investasi pabrik ini mencapai Rp8,5 triliun, termasuk di dalamnya nilai EPC sebesar Rp6,9 triliun.