EmitenNews.com—Produsen keramik PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA)  kembali memberikan kabar yang sangat ditunggu-tunggu oleh investor. Ya, Arwana Citramulia akan membagikan dividen dengan rasio mencapai 70 persen dari laba bersih tahun 2022. 

 

Keputusan ini telah disetujui dalam forum Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang secara aklamasi memutuskan pembagian dividen tunai untuk tahun buku 2022 sebesar Rp 403,77 miliar atau setara Rp 55 per saham. Dividen itu bakal dibagikan pada akhir Maret ini.

 

Tahun lalu, Arwana Citramulia membukukan penjualan bersih Rp 2,58 triliun, meningkat 1,24% dibandingkan tahun 2021 yang sebesar Rp 2,55 triliun. Laba bersih salah satu produsen keramik terbesar di Indonesia itu juga naik 22,36% menjadi Rp 576,21 miliar dari Rp 470,9 miliar.

 

CFO Arwana Citramulia(ARNA) Rudy Sujanto mengatakan, hasil laba bersih ini dapat dicapai berkat margin laba yang meningkat dari 18% pada 2021 menjadi 22% pada 2022.

 

Dia menegaskan, pembagian dividen yang cukup loyal seperti tiga tahun terakhir masih diberikan tahun ini karena keuangan perseroan yang sehat. Sudah dua tahun ini, kas dan setara kas emiten berkode saham ARNA tersebut mencapai Rp 600 miliar.

 

"Jadi bayar dividen 70% itu tidak masalah karena kami masih mampu menjaga kas di atas Rp 500 miliar," jelasnya dalam paparan publik perseroan di Puri Indah Financial Tower, Jakarta, Kamis (9/3/2023).

.

Lebih lanjut Rudy mengatakan, suatu perusahaan yang bisa mengamankan modal kerja untuk satu tahun, sudah sangat bagus. Manajemen ARNA mengaku tidak khawatir bila nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali meningkat akibat sikap  hawkish  the Fed tahun ini.

 

Dia tak terlihat terganggu dengan prediksi nilai tukar rupiah yang bisa mendekati Rp 16.000 tahun ini, meski sekitar 40% biaya produksi ARNA ditransaksikan dengan dolar AS. Sebab tahun lalu, rupiah sempat terdepresiasi menjadi Rp 15.700.

 

Bila disimulasi, sensitivitas biaya produksi perseroan terhadap depresiasi rupiah akan naik Rp 60 untuk setiap kenaikan nilai tukar Rp 100 per dolar AS. "Jadi kalau kembali ke Rp 15.700, kami tidak terganggu. Berarti biaya produksi naik Rp 120. Karena proyeksi 2023 pakai asumsi Rp 15.500 per dolar AS. Bukannya aman, tetapi semua sudah diantisipasi," sambung Rudy.