Di masa stagflasi, kinerja pasar modal baik itu obligasi ataupun saham biasanya akan turun. Salah satu yang masih bisa naik adalah komoditas seperti emas. Dengan masih tingginya volaitlitas, maka diversifikasi investasi harus dilakukan untuk meminimalkan risiko," kata Handy.

 

Meskipun sudah mencatatkan imbal hasil hampir 30 persen pada 2019 dan 2020, pasar obligasi masih memberikan kinerja yang positif pada 2021 lalu yaitu 5,4 persen, berdasarkan perhitungan indeks return obligasi pemerintah oleh Bloomberg, di tengah gejolak pengurangan kebijakan stimulus moneter oleh The Fed yang dikenal dengan istilah tapering dan munculnya varian COVID-19 baru yang turut menekan pemulihan ekonomi global, serta terjadinya kenaikan inflasi karena disrupsi suplai dan kenaikan harga-harga komoditas.

 

Pada awal 2022, lanjut Handy, tiga risiko besar di pasar modal masih akan menghantui, yakni normalisasi suku bunga oleh The Fed, ekspektasi outlook pelemahan ekonomi di China, dan perkembangan varian baru COVID-19. Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang, posisi Indonesia relatif baik.

 

Hal itu tercermin dari vulnerability index yang disusun oleh Mandiri Sekuritas, yang dihihitung berdasarkan beberapa indikator variabel makro seperti neraca transaksi berjalan, cadangan devisa, inflasi, utang publik dan eksternal, persentase ekspor ke China, dan vaksinasi. Skor yang rendah berarti semakin rentan negaranya, sementara jika skornya semakin tinggi berarti semakin aman. Indonesia ada di peringkat 10 yang terbaik dari 25 negara berkembang.

 

Kami melihat ada beberapa perkembangan positif di pasar obligasi kita setelah pandemi ini. Pertama, ketergantungan asing semakin berkurang dimana porsi asing di pasar obligasi yang terus turun dibawah 20 persen dari posisi tertinggi sempat di atas 40 persen," ujar Handy.

 

Selain itu, saat ini investor asing yang berinvestasi di obligasi juga lebih didominasi investor jangka panjang yang tercermin dari porsi bank sentral asing di pasar obligasi Indonesia meningkat menjadi 26 persen dari sebelumnya hanya 17 persen,

 

"Support dari investor domestik terus meningkat dan semakin beragam, terutama demand dari institusional non banks ataupun dari ritel. Hal ini juga didukung oleh adanya penurunan pajak bunga obligasi dari tadinya 15 persen menjadi 10 persen. Selain itu, likuiditas yang melimpah tercermin dari LDR yang terus turun, mendorong demand obligasi oleh investor local terus meningkat," kata Handy.

 

Terakhir, secara valuasi, imbal hasil obligasi Indonesia juga memberikan imbal hasil riil atau real yield yang paling tinggi dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.