EmitenNews.com - Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar menilai gas bumi lebih efisien dibanding baterai. Gas bumi akan tetap menjadi energi strategis di tengah berkembangnya energi baru terbarukan, seperti panas bumi, angin dan matahari. Gas bumi juga memiliki peran sentral dalam proses transisi energi dari energi fosil menuju energi baru yang dinilai lebih ramah lingkungan. PGN bisa bersinergi dengan PLN untuk menjalankan strategi itu.


Dalam keterangannya kepada pers, Senin (13/9/2021), Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN), Arcandra Tahar mencontohkan peran gas bumi di tengah upaya pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Mengingat biayanya cukup mahal jika berdiri sendiri, dalam operasionalisasinya PLTS atap masih membutuhkan bantuan baterai atau sumber energi lain.


Fungsi gas atau baterai, sebagai energi primer yang akan menyokong penerapan PLTS atap ketiga energi dari matahari drop. Dengan harga gas yang lebih kompetitif, kata Arcandra, kombinasi gas bumi dan PLTS akan lebih efisien dari pada penggunaan baterai.


"Secara komersial mestinya penggunaan gas bumi dalam pengembangan PLTS lebih kompetitif dari pada penggunaan baterai. PGN dapat membangun sinergi dengan PLN untuk menjalankan strategi ini," kata mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini.


Sebagai energi bersih yang ramah lingkungan, harga kompetitif dan sumbernya masih sangat besar, menurut Arcandra Tahar, gas bumi seharusnya menjadi bagian penting dalam proses transisi energi di Indonesia. Proses itu tentunya tidak mudah. PGN sebagai perusahaan yang sudah bertahun-tahun mengambil peran paling depan dalam pengembangan infrastruktur dan pemanfaatan gas bumi harus mampu mengoptimalkan peluang itu.


Menurut Arcandra Tahar, pasar gas bumi masih sangat lebar. Seperti yang kini sudah dan sedang dilakukan oleh PGN dengan mensuplai kebutuhan gas bagi industri kilang minyak (refinery) yang dikelola Pertamina. Sejumlah kilang minyak yang mendapat suplai gas dari PGN adalah kilang minyak Cilacap, Balongan dan kilang lainnya.


Untuk mendukung pemenuhan gas bagi industri kilang tersebut, PGN tengah membangun sejumlah infrastruktur menuju lokasi kilang. Langkah ini dilakukan melalui pembangunan infrastruktur seperti storage dan regasifikasi melalui fasilitas seperti Floating Storage Regasification Unit (FSRU).


"PGN akan terus mengoptimalkan pasar-pasar eksisting melalui kolaborasi dengan Pertamina sebagai holding migas. Termasuk juga masuk industri petrokimia, gas bumi dibutuhkan untuk memproduksi metanol dan amonia yang pasarnya terus meningkat," ujarnya.


Kebijakan sejumlah negara untuk beralih ke energi baru terbarukan harus dicermati dengan baik. Terutama berkaitan dengan upaya pemenuhan zero carbon di tahun 2050 oleh sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. AS bersama Uni Eropa, Jepang dan Korea sudah berkomitmen mencapai zero emisi pada tahun 2050, atau sekitar 29 tahun lagi. Sebagai usaha mewujudkan komitmen itu, Uni Eropa dan beberapa negara tersebut sudah mulai fokus pada pengembangan renewable energy.


Karena itu menurut Arcandra Tahar, penting diperhatikan adalah mempersiapkan masa transisi menuju renewable energy. Periode 29-30 tahun ke depan adalah kunci. Jika perusahaan migas mengurangi eksplorasi dan produksi migasnya, tentu ini akan menjadi tantangan baru. Karena menggantikan energi fosil dengan renewable energy tidaklah semudah yang dibayangkan.


Proyeksi OPEC, sampai tahun 2040 kebutuhan minyak dunia akan bertambah sekitar 20 juta barel per hari dari kebutuhan tahun 2020 yang sebanyak 90 juta barel. Kehadiran Electric Vehicle (EV) diproyeksikan hanya akan mengkonversi penggunaan BBM sekitar 6 juta barel per hari di seluruh dunia pada 2040. ***