EmitenNews.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy ikut menyoroti uang kuliah tunggal (UKT) yang ramai menuai protes, terutama dari mahasiswa. Menko PMK mengkritik kebijakan perguruan tinggi negeri (PTN) yang menaikkan UKT secara tiba-tiba. Kenaikan UKT di tengah perkuliahan memang menimbulkan gelombang protes mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi di daerah.

Dalam keterangannya kepada pers, seperti dikutip Minggu (19/5/2024), Menko PMK Muhadjir Effendy menilai perlu ada kontrak perjanjian antara PTN dengan mahasiswa dan orang tua bahwa akan ada kenaikan UKT di tengah proses pendidikan.

"Bahkan kalau perlu nilai kenaikannya juga harus ditetapkan, jangan tiba-tiba di tengah jalan menaikkan UKT. Itu saya kira langkah yang sembrono. Itu berarti kampus itu tidak punya perencanaan yang bagus dalam kaitannya dengan manajemen keuangan," kata Muhadjir Effendy, di kantornya, Selasa (14/5/2024).

Kenaikan UKT setiap tahun adalah hal yang wajar jika ada kesepakatan antarpihak. Namun, agar kenaikan UKT itu tidak berlaku bagi mahasiswa lama.

Menanggapi berbagai kritik, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Abdul Haris mengklaim biaya kuliah di PTN meski tinggi tapi masih lebih terjangkau daripada Perguruan Tinggi Swasta (PTS).

Kepada pers, Abdul Haris menyatakan, UKT PTN masih relatif lebih terjangkau bagi masyarakat dibandingkan PTS, karena PTN mengimplementasikan kewajiban menyelenggarakan kelompok tarif UKT 1 dan tarif UKT 2. Ia menyebutkan, penerapannya, tidak melampaui batas Biaya Kuliah Tunggal (BKT).

Rendahnya UKT tersebut karena PTN masih memperoleh subsidi rutin dari pemerintah. Selain itu, PTN juga menawarkan lebih banyak beasiswa bagi para mahasiswa.

Meski begitu, Abdul Haris meminta universitas negeri yang kini menaikkan biaya kuliah harus hati-hati dan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa. Baginya, asas berkeadilan harus diterapkan sesuai kemampuan untuk membayar mahasiswanya.

Penetapan UKT adalah wewenang pemimpin perguruan tinggi, sehingga nilai yang hanya ditetapkan hanya berlaku di universitas masing-masing. Namun, proses penetapan UKT bagi perguruan tinggi berstatus PTNBH harus melalui konsultasi dengan Kemendikbudristek. Sedangkan perguruan tinggi selain PTNBH harus memperoleh persetujuan dari Kemendikbudristek.

Kemendikbudristek telah memberikan rambu-rambu penetapan UKT. Di antaranya kampus memiliki kewajiban menyediakan kelompok tarif UKT 1 sebesar Rp500 ribu per semester dan tarif UKT 2 sebesar Rp1 juta per semester.

Selanjutnya pemimpin PTN dan PTNBH dapat menetapkan tarif UKT lainnya dengan nilai nominal tertentu paling tinggi sama dengan besaran BKT yang telah ditetapkan pada setiap program studi tersebut. Jadi BKT menjadi batas atas UKT.

Sepreti diketahui sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi memprotes kenaikan UKT, yang dinilai memberatkan mahasiswa. Protes itu antara lain datang dari mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Protes melalui unjuk rasa juga dilayangkan oleh mahasiswa Universitas Indonesia, seperti yang juga dilakukan mahasiswa Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah. 

Mahasiswa Unsoed memprotes lantaran ada kenaikan uang kuliah hingga lima kali lipat. Di Universitas Negeri Riau, seorang mahasiswa bernama Khariq Anhar memprotes ketentuan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) dalam UKT yang harus dibayar mahasiswa.

Mahasiswa menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih prorakyat. Apa pun alasannya jangan sampai membebani orang tua mahasiswa, terutama yang kurang mampu. ***