EmitenNews.com—Penerbitan obligasi berwawasan lingkungan dan instrumen utang terkait lingkungan-sosial-tata kelola (environmental-social-governance atau ESG) menunjukkan tren naik karena keterdesakan untuk mencapai tujuan perubahan iklim global. Perjanjian Paris menyasar kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dan membatasi kenaikan suhu maksimum 1,5 derajat Celsius di atas tingkat sebelum era industrialisasi. Ini berarti emisi karbon perlu dipangkas sekitar 50% sampai dengan tahun 2030.


Mengutip dari artikel yang di rilis oleh PT Pemeringkat Efek Indonesia (EFINDO) yang di rilis pada akhir bulan September dan di riset oleh Kreshna Dwinanta Armand. Pada akhirnya, urgensi ini mendorong kebutuhan untuk pendanaan berwawasan lingkungan. Akan tetapi, di Indonesia, pertumbuhan dan skala dari obligasi berwawasan lingkungan tidak secepat di global, di mana infrastruktur berwawasan lingkungan, khususnya kerangka regulasi dan skema insentif perlu untuk dikembangkan lebih jauh. Oleh karena itu, kami ingin menjelaskan tantangan yang dihadapi dan usaha-usaha yang telah dilakukan, terutama oleh pemerintah dalam hal kerangka regulasi, mempertimbangkan kurangnya insentif dan basis investor yang terbatas. Kami juga ingin mendiskusikan sektor-sektor apa saja yang memiliki potensi untuk yang menjadi yang paling menjanjikan dalam hal peluang dan dampaknya pada lingkungan.


Pada akhir tahun 2021, ukuran dari penerbitan obligasi berwawasan lingkungan secara global mencapai AS$517,4 miliar, pertumbuhan yang kuat dari AS$100,0 miliar yang dicapai pada November 2017. Bersamaan dengan obligasi sosial, keberlanjutan, terkait-keberlanjutan, dan transisi, penerbitan dari instrumen utang berlabel keberlanjutan ini telah mencapai AS$1.2 triliun pada akhir tahun 2021. 


Meskipun tumbuh pesat, analisis baru-baru ini dari McKinsey mengatakan perlunya investasi berwawasan lingkungan sebesar AS$9 triliun per tahunnya untuk mencapai net zero (tidak ada selisih antara jumlah dari gas rumah kaca yang dihasilkan dan jumlah yang dihapuskan dari atmosfer) di tahun 2050. Negara-negara maju terdepan seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, Cina, Perancis, dan Inggris tetap berada pada 5 besar di tahun 2021. 


Pemerintah Inggris merupakan penerbit instrumen utang berwawasan lingkungan yang terdepan dengan dua seri UK Green Gilts, disusul oleh KfW Bankengruppe dari Jerman dan Fannie Mae dari AS. Energi terbarukan mengambil porsi terbesar dari investasi berwawasan lingkungan di tahun 2021 sebesar 35% dari total penggunaan hasil penerbitan, diikuti oleh investasi pada bangunan rendah karbon pada 30% dan transportasi rendah karbon pada 18%. Namun demikian, dalam pembiayaan melalui utang, dari seluruh obligasi yang tersertifikasi Climate Bonds, 39% digunakan untuk transportasi rendah karbon, 20% pada sektor campuran, 17% pada energi, dan 14% pada bangunan rendah karbon. 


Hal ini berarti harusnya ada peluang tinggi dalam pembiayaan energi terbarukan dengan utang, karena sektor ini harusnya vital bagi pengurangan emisi karbon secara keseluruhan. Bayangkan tanpa energi terbarukan, transportasi rendah karbon harus ditopang oleh listrik yang dibangkitkan oleh pembangkit listrik berbahan batu bara. Secara domestik, total penerbitan obligasi berwawasan lingkungan di Indonesia pada September 2022 telah mencapai Rp.10,5 triliun, atau setara dengan AS$71,4 juta. 


Sebagai perbandingan, penerbit obligasi berwawasan lingkungan di ASEAN adalah Singapura (peringkat 16 secara global), dan negara tersebut telah mencapai hampir AS$10.0 miliar di penerbitan obligasi berwawasan lingkungan. Indonesia telah menetapkan target untuk mengurangi gas rumah kaca sebesar 29% dari kegiatan normal dan 41% dengan bantuan internasional di tahun 2030.


Tantangan pada pasar obligasi berwawasan lingkungan domestik Meskipun peraturan mengenai obligasi berwawasan lingkungan (POJK 60/POJK.04/2017) telah ada sejak 2017, kami telah mengidentifikasikan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap volume penerbitan yang rendah, dan sebagian berasal dari alasan ekonomi. 1. Kurangnya basis investor domestik yang spesifik. 2. Biaya yang lebih tinggi dalam menerbitkan instrumen berwawasan lingkungan. 3. Kurangnya insentif untuk menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan. 4. Batasan obligasi berwawasan lingkungan dan yang ke-5 adalah Pembiayaan langsung untuk proyek berwawasan lingkungan.


Sedangkan Sektor potensial untuk dibiayai Obligasi berwawasan lingkungan sangat besar. Pertama yang diterbitkan SMI di tahun 2018 digunakan untuk membiayai pembangkit listrik tenaga air dan kereta light rail transits (LRT). Hal ini sejalan dengan tren umum di mana obligasi berwawasan lingkungan digunakan untuk membiayai energi terbarukan dan transportasi rendah karbon.


Tenaga hidro: 80% sampai dengan 100%. Tenaga panas bumi atau geotermal: 80%. Biomassa: 80%. Tenaga surya: 20%. Tenaga angin: 30%. Arus laut : 20% to 30%.