EmitenNews.com - Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,00 persen. Kebijakan ini dipandang sebagai sinyal positif bagi stabilitas keuangan nasional.

Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menilai ruang pemangkasan lanjutan masih terbuka hingga akhir 2025.

“Masih ada peluang penurunan suku bunga sekitar 50 basis poin lagi, sehingga BI Rate bisa mencapai 4,50 persen di akhir tahun,” ujar Fakhrul, dalam keterangannya ke InfoPublik, Rabu (20/8/2025).

Menurutnya, kondisi stabilitas sektor keuangan dan nilai tukar rupiah yang terjaga memberi ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter, meski di tengah isu pelemahan daya beli masyarakat.

Dari sisi eksternal, The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan memangkas suku bunga sebanyak 2–3 kali pada 2025. Hal ini, menurut Fakhrul, dapat memberi keleluasaan tambahan bagi kebijakan moneter Indonesia.

Namun, sejumlah risiko tetap harus diwaspadai. Inflasi yang saat ini terkendali bisa terdampak fluktuasi harga pangan. “Kesiapan pemerintah dalam rantai pasok pangan akan diuji. Persediaan beras, daging ayam, sayuran, dan bahan pokok lain harus dijaga. Tanpa eksekusi yang tepat, inflasi pangan bisa menjadi fenomena tersendiri,” katanya.

Peningkatan take up rate dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diproyeksikan mencapai 32.000 dapur pada November 2025 disebut Fakhrul sebagai faktor penentu. Program prioritas Presiden Prabowo ini menjadi bagian dari Asta Cita untuk memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan gizi masyarakat, sekaligus mendukung kualitas SDM nasional.

Di pasar keuangan, Fakhrul memproyeksikan adanya euforia lanjutan pasca pemangkasan suku bunga. Saham perbankan disebut sebagai motor penggerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menuju level 8.000.

Sementara itu, untuk nilai tukar rupiah, sentimen positif di akhir kuartal III 2025 diperkirakan bisa mendorong penguatan ke Rp15.800 per dolar AS, dan bahkan berlanjut hingga Rp15.500 pada akhir tahun. Hal ini didukung realokasi cadangan devisa negara-negara surplus di Asia dari surat utang AS ke instrumen negara mitra dagang, termasuk obligasi Indonesia.

Meski demikian, sejumlah risiko global juga membayangi, seperti penguatan yen Jepang, dinamika geopolitik, hingga tantangan transmisi kebijakan moneter ke sektor perbankan domestik.

Pemangkasan suku bunga acuan dan penguatan rupiah sejalan dengan arah kebijakan Presiden Prabowo dalam Asta Cita, yakni menjaga stabilitas ekonomi makro, memperkuat kemandirian pangan, serta mendukung pertumbuhan inklusif. Pemerintah didorong untuk memastikan eksekusi rantai pasok pangan berjalan tepat agar inflasi tetap terkendali, sementara pasar keuangan mendapat kepastian untuk terus tumbuh.(*)