EmitenNews.com - Pemerintah menunjukkan keseriusan dalam mewujudkan akses energi listrik bersih (green energy) menuju target Net Zero Emission (NZE) di 2060. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan memangkas emisi karbon dioksida (CO2) pembangkit listrik hingga 10,37 juta ton sepanjang 2021, atau 210,8% dari target sebesar 4,92 juta ton.


"Ini menyangkut (kontribusi Indonesia) ke nasib dunia, dari segi pembangkitan terus diupayakan untuk ditekan. Dari target 2021, kami mencatat lebih dari 200% persen capaiannya," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana seperti dilansir di laman Kementerian ESDM.


Rida memaparkan, reduksi emisi CO2 pembangkit listrik dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada 2020 lalu, Kementerian ESDM menargetkan angka penurunan emisi karbon di pembangkit sebesar 4,71 juta ton. Bahkan realisasinya mampu mencapai 186% atau 8,78 juta ton dari target yang ditetapkan.


Adapun pada tahun 2022, Kementerian ESDM telah menetapkan angka 5,36 juta ton pada reduksi emisi CO2 pembangkit litsrik. "Angka ini akan kita kawal selama 2022 nanti," tegas Rida.


Guna terus menekan emisi karbon, pemerintah pun telah menyusun prinsip pelaksanaan netralitas karbon dan peta jalan transisi energi, salah satunya melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon. "Ini mulai menerapkan pajak karbon per tanggal 1 April 2022 dengan skema cap and trade and tax," jelas Rida.


Penerapan skema cap and trade and tax, sambung Rida, secara khusus diberlakukan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dengan kapasitas 25 Mega Watt (MW) hingga 100 MW dan rencananya akan mulai efektif diimplementasikan pada 2023 mendatang.


Namun secara rinci, pemerintah membagi penetapan Batas Atas Emisi GRK (BAE) pada tiga klasifikasi, yaitu PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 400 MW, PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW, dan PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 100 MW.


Pengecualian tersebut dilakukan, ungkap Rida, karena mempertimbangkan faktor pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat. Lantaran memiliki kapasitasnya kecil, namun secara fungsi PLTU dengan kapasitas 25-100 MW tersebut merupakan tulang punggung suplai kelistrikan di luar Pulau Jawa.


"Jangan sampai mengurangi pelayaanan penyediaan listrik, karena karbon tinggi kemudian ditutup dan gelap gulita, itu buat kita tidak elok. Kalau ini ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada, jangan sampai seperti itu," ungkap Rida.


Kementerian ESDM sendiri tengah menyiapkan regulasi berupa Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik. Adapun usulan mekanismenya yakni Surat Persetujuan Teknis Eemisi (PTE) pada PLTU batu bara diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan.


Kemudian, surat PTE diberikan kepada unit instalasi PLTU batu batu bara dalam satuan ton CO2e atau ton karbon dioksida ekuivalen dan berdasarkan dari nilai batas atas emisi (ton CO2e/MWh) yang dikalikan produksi bruto (MWh) yang direncanakan pada awal tahun.


"Trading dilakukan antar peserta uji coba dengan penerapan maksimum trading dari unit pembangkit surplus dibatasi sebesar 70% dan offset ditetapkan dari aksi mitigasi pembangkit EBT (energi baru terbarukan) sebesar 30%," papar Rida.(fj)