EmitenNews.com—Penyertaan modal negara (PMN) kepada PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) dinilai strategis dalam akselerasi Program Sejuta Rumah Presiden Jokowi. Sebab, PMN melalui penerbitan saham baru (rights issue) dapat meningkatkan kapasitas pembiayaan guna memenuhi tingginya permintaan kredit kepemilikan rumah (KPR), khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

 

Ekonom Indef Nailul Huda mengatakan, sektor properti harus menjadi prioritas program relaksasi pemerintah, karena peranannya yang sangat strategis. Bahkan, dibandingkan sektor ekonomi lainnya, multiplier effect properti sangat besar mulai dari pelaku industri dan usaha turunannya hingga konsumen akhir, terutama segmen MBR.

 

"PMN BTN untuk mendukung program 1 juta rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah patut diprioritaskan. Untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi dan sekaligus membantu daya beli masyarakat untuk memiliki rumah layak hunian, sektor properti saya rasa lebih tepat diberikan relaksasi dibandingkan sektor otomotif," kata Nailul mengomentari adanya wacana evaluasi kembali keputusan PMN sebesar Rp 2,98 triliun kepada BTN pada tahun ini.

 

Data Kementerian PUPR memperlihatkan jumlah backlog kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 11,4 juta unit. Hal ini masih ditambah data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 yang menyatakan hanya 59,5% keluarga menghuni rumah yang layak, sementara sisanya adalah rumah tidak layak huni.

 

Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah mengingatkan bahwa tanpa PMN ke BTN, program sejuta rumah yang digagas Presiden Jokowi bakal terkendala, apalagi masa jabatan presiden tinggal dua tahun lagi.

 

"Program Sejuta Rumah yang digagas Presiden Jokowi adalah solusi cemerlang dalam meningkatkan jumlah MBR yang memiliki hunian layak. Tanpa percepatan di Program Sejuta Rumah, backlog perumahan tidak akan berkurang malah akan bertambah. Pasalnya, setiap tahun jumlah keluarga baru terus meningkat tetapi pasokan rumah selalu lebih kecil dari kebutuhan," ujarnya.

 

Catatan saja, setiap tahunnya terdapat 1,8 juta pernikahan. Sebagian dari rumah tangga baru tersebut tentunya membutuhkan rumah tinggal sehingga akan meningkatkan angka backlog .

 

Kondisi ini makin rumit karena daya beli masyarakat saat ini terhimpit kenaikan inflasi dan risiko bunga tinggi. Para pengembang pun tidak punya banyak pilihan selain berancang ancang menaikkan harga rumah untuk mengimbangi kenaikan harga bahan bangunan. Sementara itu, tingkat kenaikan pendapatan masyarakat selalu tertinggal dari laju kenaikan harga rumah.

 

"Tanpa keberpihakan dan komitmen pemerintah, memiliki hunian layak hanya menjadi mimpi para MBR. Tak ada pilihan bagi pemerintah selain mempercepat PMN ke BTN. Menunda PMN berarti lost opportunity. Segmen MBR paling dirugikan" kata Piter.