EmitenNews.com - Pemerintah mulai mengambil langkah strategis untuk melakukan penyederhanaan terhadap nilai mata uang rupiah. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan kebijakan redenominasi sebagai bagian dari Rencana Strategis Kementerian Keuangan tahun 2025–2029 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025.

Kebijakan tersebut disahkan pada 10 Oktober 2025 dan resmi diundangkan pada 3 November 2025. Dalam peraturan itu, Kementerian Keuangan menugaskan Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi), dengan target penyusunan kerangka regulasi pada tahun 2026 dan penyelesaian RUU secara final pada tahun 2027.

Tahapan ini ditujukan guna peningkatan efisiensi perekonomian nasional, menjaga kestabilan nilai tukar rupiah, serta memperkuat kepercayaan dan kredibilitas rupiah sebagai simbol daya saing ekonomi Indonesia. Purbaya menegaskan bahwa redenominasi tidak berarti pemotongan nilai uang, melainkan sekadar penyederhanaan nominal agar sistem pembayaran dan pencatatan akuntansi menjadi lebih efisien dan mudah dipahami.

Isu ini muncul seiring dengan kondisi ekonomi Indonesia yang relatif stabil, inflasi terkendali, dan nilai tukar rupiah yang menunjukkan ketahanan terhadap gejolak eksternal. Namun, pertanyaan besar yang mengemuka adalah, bagaimana dampak redenominasi ini terhadap pasar modal dan para investor?

Redenominasi rupiah bukan sekadar penghapusan nol pada nominal uang. Secara sederhana, redenominasi adalah penyederhanaan satuan mata uang tanpa mengubah nilai riilnya. Misalnya, Rp1.000 akan menjadi Rp1 dalam satuan baru, tetapi daya belinya tetap sama. Praktik ini umumnya dilakukan oleh negara yang ingin memperkuat citra mata uangnya, meningkatkan efisiensi sistem pembayaran, dan menyesuaikan dengan praktik internasional. Beberapa negara yang sukses menerapkan redenominasi antara lain Turki pada 2005, Rumania pada 2005, serta Korea Selatan yang telah melakukannya sejak 1962.

Bagi Indonesia, redenominasi memiliki dimensi strategis. Pertama, dari sisi psikologis, rupiah dengan digit lebih sedikit dinilai lebih efisien dan mencerminkan kestabilan ekonomi. Kedua, dari sisi administratif, redenominasi akan mempermudah sistem akuntansi, transaksi elektronik, hingga pelaporan keuangan perusahaan. Namun, prosesnya tidak sederhana. Keberhasilan redenominasi sangat bergantung pada stabilitas ekonomi makro, kepercayaan publik, serta kesiapan infrastruktur keuangan nasional, termasuk sektor pasar modal.

Redenominasi dan Persepsi Pasar

Pasar modal merupakan sektor yang sangat sensitif terhadap kebijakan moneter dan fiskal. Setiap perubahan dalam sistem keuangan, termasuk redenominasi, dapat memengaruhi persepsi pelaku pasar terhadap risiko dan peluang investasi. Dalam jangka pendek, pengumuman redenominasi berpotensi menimbulkan volatilitas harga saham akibat ketidakpastian. Investor yang belum memahami konsep redenominasi bisa menafsirkan kebijakan ini sebagai bentuk “pemangkasan nilai uang”, padahal secara fundamental tidak ada perubahan nilai riil.

Dalam konteks ini, komunikasi publik menjadi faktor kunci. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus memastikan bahwa pesan mengenai redenominasi tersampaikan dengan jelas dan konsisten, agar tidak menimbulkan kepanikan di kalangan investor. Negara-negara yang berhasil melakukan redenominasi selalu menempatkan edukasi publik sebagai prioritas utama. Misalnya, Turki melakukan kampanye edukasi nasional selama dua tahun sebelum redenominasi diterapkan, sehingga transisi berjalan mulus tanpa gangguan terhadap pasar modal.

Dampak terhadap Pasar Saham dan Emiten

Dari sisi teknis, redenominasi tidak mengubah nilai fundamental saham. Jika saat ini harga saham suatu emiten Rp10.000 per lembar, maka setelah redenominasi dengan rasio 1:1.000, harga saham akan menjadi Rp10 per lembar. Nilai kapitalisasi pasar dan kepemilikan investor tetap sama. Namun, dalam praktiknya, penyederhanaan nominal dapat memberikan efek psikologis positif. Harga saham yang semula tampak “mahal” bisa terlihat lebih “terjangkau”, sehingga mendorong minat beli investor ritel baru.

Selain itu, redenominasi juga bisa meningkatkan efisiensi transaksi di bursa. Angka nominal yang lebih kecil akan mempermudah sistem perdagangan, pelaporan keuangan, serta penghitungan indeks saham. Bursa Efek Indonesia (BEI) perlu menyesuaikan sistem perdagangan dan denominasi harga saham agar sesuai dengan struktur baru. Emiten juga akan melakukan penyesuaian pada laporan keuangan, modal disetor, dan nilai nominal saham. Semua proses ini menuntut kesiapan teknologi informasi dan koordinasi antar lembaga keuangan.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam jangka pendek, biaya transisi akan meningkat. Perusahaan harus mengganti format laporan keuangan, perangkat lunak akuntansi, sistem kas, dan dokumen kontraktual yang menggunakan satuan rupiah lama. Meski demikian, biaya tersebut bersifat sementara dan akan terbayar dengan manfaat jangka panjang berupa efisiensi dan kesederhanaan sistem keuangan nasional.

Respons Investor dan Sektor Keuangan

Bagi investor, baik domestik maupun asing, redenominasi akan menjadi sinyal tentang keseriusan pemerintah menjaga stabilitas ekonomi dan kredibilitas mata uang. Selama komunikasi kebijakan dilakukan dengan transparan, investor cenderung merespons positif. Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa redenominasi sering kali meningkatkan kepercayaan terhadap pasar keuangan domestik karena dianggap sebagai bagian dari reformasi struktural.

Investor institusional kemungkinan akan menilai redenominasi sebagai langkah administratif yang netral terhadap return investasi. Namun bagi investor ritel, khususnya yang belum berpengalaman, perlu sosialisasi intensif agar tidak terjadi salah persepsi. Tantangan utama bagi otoritas adalah menghindari terjadinya spekulasi berlebihan yang dapat mengganggu stabilitas harga di pasar modal.

Selain saham, redenominasi juga berdampak pada instrumen keuangan lain seperti obligasi dan reksa dana. Penyesuaian nilai nominal dan kupon perlu dilakukan secara proporsional agar tidak terjadi distorsi nilai. Lembaga kustodian, manajer investasi, dan lembaga kliring juga harus menyesuaikan sistem administrasi dan pencatatan aset. Oleh karena itu, koordinasi lintas sektor menjadi keharusan agar proses redenominasi tidak menimbulkan disrupsi teknis di pasar keuangan.