EmitenNews.com - Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa jika nikel diekspor dalam bentuk bahan mentah, maka hanya akan menghasilkan USD1 miliar atau setara Rp14 triliun - Rp15 triliun dalam setahun. Tetali saat nikel diekspor dalam bentuk yang telah diolah menjadi besi baja, nilainya melonjak tajam menjadi USD20,8 miliar atau setara Rp300 triliun.


"Saya cek akhir tahun kemarin ekspor kita untuk besi baja, artinya besi baja ini dari nikel menghasilkan USD20,8 miliar, Rp300 triliun," kata Jokowi saat menyampaikan pengarahan pada acara Dies Natalis ke-67 Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) di Pusat Pembelajaran Arntz-Geise ( PPAG ) Unpar, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat, pada Senin (17/1).


Oleh sebab itulah Jokowi menegaskan bahwa pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia tidak boleh menghentikan transformasi besar ekonomi yang tengah dilakukan oleh pemerintah. Saat ini, pemerintah terus mempercepat transformasi ekonomi menuju sebuah ekonomi yang memiliki nilai tambah tinggi dengan menghentikan ekspor bahan mineral tambang berupa bahan mentah.


"Sudah berapa ratus tahun kita bahan mentah kita, kita kirim ke luar utamanya ke Eropa. Sejak zaman VOC yang kita kirim selalu bahan mentah, yang selalu kita kirim selalu raw material. Oleh sebab itu, sejak 2020 saya sampaikan enggak bisa kita terus-teruskan, stop," tegas Jokowi.


Pemerintah telah menghentikan ekspor nikel berupa bahan mentah dan menggantinya dengan ekspor berupa bahan jadi maupun setengah jadi. Secara bertahap, pemerintah juga berencana untuk menghentikan ekspor bahan mentah tambang lainnya berupa bauksit, tembaga, dan sebagainya, untuk meningkatkan nilai tambah dari produk-produk tersebut.


"Kita ingin nilai tambah itu ada di Tanah Air sehingga selain memberikan penerimaan negara yang makin besar berupa pajak, berupa royalti, berupa penerimaan negara bukan pajak, juga bisa membuka lapangan kerja yang sebesar-besarnya untuk rakyat kita," ungkap Jokowi.


Setelah pemerintah melarang ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah, ekspor besi baja yang merupakan turunan dari nikel pun melonjak tajam. "Dari Rp15 triliun melompat menjadi Rp300 triliun dan membuka lapangan pekerjaan yang sangat banyak sekali. Padahal kita tidak hanya memiliki nikel, kita memiliki tembaga, kita memiliki bauksit, kita memiliki timah, kita memiliki emas, semuanya ada. Jangan itu dikirim dalam bentuk raw material lagi, dalam bentuk bahan mentah lagi, stop," tegas Jokowi.


"Bayangkan kalau nikel yang jadi besi baja saja bisa melompat menjadi Rp300-an triliun. Itu enggak tahu, mungkin baru satu atau dua turunan, nanti kalau turunannya sampai ke-10, ke-11, ke-12 nilai tambahnya berapa. Bauksit juga begitu, saya kalkulasi kira-kira juga hampir sama akan dapat berapa penerimaan negara dari ekspor-ekspor yang kita lakukan," imbuh Jokowi.


Jokowi mengakui bahwa penerapan kebijakan penghentian ekspor bahan mentah tambang tersebut bukanlah tanpa tantangan. Pada awalnya, Indonesia dikecam oleh negara-negara lain dan diadukan hingga ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Namun, Presiden menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menghentikan kebijakan tersebut.


"Enggak tahu menang atau kalah, ini masih dalam proses di WTO. Ya kita harapkan menang. Tapi yang jelas enggak akan kita hentikan. Meskipun dibawa ke WTO, stop bauksit tetap jalan, stop tembaga nanti tetap jalan. Inilah yang namanya nilai tambah," imbuh Jokowi.


Untuk itu, Jokowi terus mendorong pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut. Selain itu, Presiden juga mendorong kerja sama dengan negara lain, terutama dalam mendirikan industri pengolahan di Indonesia.


"Sekarang bukan eranya lagi menjual bahan mentah, kita harus melakukan hilirisasi industri. Kita harus memaksimalkan nilai tambah kekayaan alam yang kita miliki," pungkas Jokowi.