Perusahaan sekuritas berbasis Singapura ini juga menyampaikan skenario terburuk dengan provisi yang harus dikeluarkan mencapai USD960 juta. Angka ini setara Rp15 triliun jika menggunakan kurs Rp 15.677 per dolar Amerika Serikat (AS).

 

"USD100 juta hingga USD240 juta dalam laporan keuangan tahun 2023, dengan kasus terburuk sebesar USD960 juta jika PGAS harus menyisihkan provisi yang mencakup empat tahun kontrak pada tahun ini laporan keuangan," tulis DBS Vickers Sekuritas awal pekan ini.

 

Pasca pengumuman tersebut, saham PGAS mengalami penurunan meski tidak signifikan. Per Kamis (9/11), saham PGAS ditutup turun 2,19 persen dan pada penutupan perdagangan jelang akhir pekan, Jumat (10/11), sahamnya menghijau tipis 0,9 persen. Meski demikian, sepanjang pekan lalu PGAS turun 7,02 persen di level Rp1.125 per lembar saham.

 

Tren penurunan harga saham juga terlihat secara year to date (YTD) di mana saham PGAS sudah anjlok 36,08 persen sepanjang tahun ini. Sepanjang perdagangan awal pekan Senin (13/11), saham PGAS ditutup sideways tanpa pergerakan berarti.

 

"Harga saham (PGAS) sedang mengalami tren penurunan, namun kami belum melihat akhir dari kondisi tersebut. Kami menilai pelemahan harga saham PGAS mencerminkan tren penurunan pendapatan pada 2023 akibat rendahnya harga jual minyak dan tren margin distribusi yang rendah. Karena kenaikan margin yang terbatas, kami memperkirakan harga saham PGAS tidak akan pulih dari level terendah saat ini, meskipun PGAS berstatus sebagai perusahaan sub-holding gas nasional yang bertugas mendistribusikan gas ke seluruh pelosok negeri," imbuh DBS Vickers Sekuritas Indonesia dalam laporannya.

 

Kondisi force majeure PGAS kini dapat meningkatkan risiko reputasi bagi perseroan. PGAS menyatakan force majeure pada kontrak Gunvor hanya setahun setelah perjanjian induk jual beli ( MSPA ) kesepakatan pasokan LNG ditandatangani.

 

"Hal ini mungkin menandai awal dari perjuangan PGAS selama bertahun-tahun, karena hal ini dapat menghalangi PGAS untuk berekspansi ke bisnis LNG, terutama setelah bisnis Floating Storage Regasification Unit (FSRU) gagal berkembang akibat perselisihan dengan Hoegh LNG, mitra PGAS untuk penyewaan kapal sejak 2021,"imbuh riset DBS Vickers Sekuritas Indonesia

 

DBS Vickers Sekuritas Indonesia juga mengatakan ekspansi PGAS dalam bisnis LNG sangat penting bagi pertumbuhannya di masa depan.