EmitenNews.com -Di dunia startup, valuasi sering dianggap sebagai ukuran keberhasilan. Makin besar valuasi, makin tinggi pula persepsi pasar terhadap potensi perusahaan. Namun, ketika startup memasuki tahap IPO (Initial Public Offering), mereka mulai bermain di medan yang berbeda—pasar publik. Di sinilah banyak cerita berubah.

Tak sedikit startup yang sebelumnya dielu-elukan justru mengalami kejatuhan setelah melantai di bursa. Harga saham anjlok, investor kehilangan kepercayaan, dan mimpi yang dulu dibangun dengan antusiasme besar perlahan terkikis oleh tekanan realitas.

Lalu, mengapa banyak startup gagal menjaga performanya setelah IPO? Apakah valuasi tinggi selama fase pendanaan awal memang tidak mencerminkan kekuatan bisnis yang sebenarnya?

Perbedaan Harapan: Dunia Private vs Dunia Publik 

Sebelum IPO, valuasi startup umumnya dibentuk melalui putaran pendanaan private—seed, Series A, hingga late-stage funding. Di fase ini, valuasi banyak dipengaruhi oleh ekspektasi pertumbuhan, potensi pasar, dan kepercayaan investor terhadap tim pendiri. Investor venture capital (VC) biasanya bersedia mengambil risiko besar demi imbal hasil jangka panjang. Mereka percaya pada narasi dan pertumbuhan eksponensial, bahkan jika perusahaan belum mencetak laba. Namun, begitu startup masuk ke pasar publik, logika penilaian berubah drastis. Investor publik tidak sekadar membeli mimpi, mereka membeli kinerja. Mereka menuntut transparansi, disiplin finansial, dan arah profitabilitas yang jelas. Di sinilah sering terjadi benturan: valuasi yang terbentuk di ruang privat ternyata tidak sanggup berdiri kokoh ketika diuji oleh pasar publik yang lebih rasional dan konservatif.

Kasus Nyata: Ketika Euforia Berbalik Jadi Kekecewaan

Banyak contoh startup global maupun lokal yang mengalami fenomena ini. Ambil contoh WeWork, yang gagal IPO pada 2019 setelah valuasinya menyentuh USD47 miliar. Begitu dokumen S-1 mereka dibuka ke publik, pasar mulai mempertanyakan model bisnisnya, tata kelola yang lemah, dan kerugian yang besar. Hanya dalam hitungan minggu, valuasinya merosot tajam dan IPO dibatalkan.

Di Indonesia, kita melihat dinamika yang serupa dalam IPO Bukalapak dan GoTo. Keduanya melantai di bursa dengan valuasi tinggi dan antusiasme luar biasa dari publik. Namun dalam beberapa bulan, harga saham keduanya merosot signifikan. Alasannya bukan karena teknologi mereka buruk atau pasarnya tidak besar, melainkan karena pasar publik tidak melihat roadmap profitabilitas yang realistis. Burn rate tinggi, belum ada titik impas yang jelas, dan belum terbukti efisiensi operasional—semua ini menjadi perhatian serius bagi investor publik.

Masalah Utama: Monetisasi dan Profit yang Terlambat

Salah satu akar persoalan dari kegagalan pasca-IPO adalah ketergantungan startup pada pertumbuhan tanpa monetisasi yang sehat. Banyak startup terlalu fokus mengejar user, transaksi, atau GMV (Gross Merchandise Value), tetapi belum menyiapkan strategi monetisasi yang konkret. Ini bisa diterima di tahap awal, namun tidak bisa dipertahankan di pasar publik yang menuntut keberlanjutan bisnis. Startup yang terlalu lama bakar uang tanpa memperjelas jalur menuju profit pada akhirnya akan menghadapi tekanan besar. Investor publik tidak sabar menunggu “laba nanti”—mereka ingin melihat progres nyata dan pengurangan kerugian dari kuartal ke kuartal. Ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi, saham mereka akan dihukum oleh pasar.

Kesalahan Umum: Valuasi yang Tidak Terkait Kinerja Nyata

Startup sering kali terjebak dalam mengejar valuasi setinggi mungkin saat pendanaan private. Sayangnya, ini bisa menjadi pedang bermata dua. Ketika valuasi terlalu tinggi tapi tidak dibarengi dengan kinerja operasional yang sepadan, akan timbul “valuation gap”—perbedaan antara nilai persepsi dan nilai nyata perusahaan. Masuk ke bursa dengan valuasi yang tidak rasional bisa menciptakan ekspektasi yang sulit dipenuhi. Pasar publik akan cepat merespons bila laporan keuangan tidak sesuai harapan. Dan ketika harga saham jatuh, kepercayaan investor menurun, moral tim internal goyah, dan potensi ekspansi bisa ikut terganggu.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Startup Sebelum IPO?

Sebelum memutuskan untuk melantai di bursa, startup perlu melakukan konsolidasi internal secara menyeluruh. Langkah ini penting agar perusahaan tidak terjebak pada valuasi tinggi yang tidak sejalan dengan fundamental bisnis. Salah satu hal pertama yang perlu dilakukan adalah memvalidasi model bisnis secara realistis. Fokus tidak lagi hanya pada pertumbuhan jumlah pengguna atau skala transaksi, tetapi pada seberapa jauh perusahaan mampu menghasilkan margin positif yang berkelanjutan. Bisnis yang sehat harus bisa membuktikan bahwa di balik ekspansi yang agresif, terdapat sistem monetisasi yang solid.

Selain itu, efisiensi operasional menjadi hal yang krusial. Banyak startup terlalu lama mengandalkan strategi “bakar uang” demi mengejar skala pasar, padahal pendekatan ini tidak bisa terus-menerus dipertahankan ketika sudah menjadi perusahaan publik. Mereka perlu menekan burn rate, mengevaluasi ulang unit economics, dan mulai beralih dari pola pikir growth at all cost menjadi growth with control.

Artinya, pertumbuhan tetap penting, tapi harus didukung oleh kontrol biaya dan keberlanjutan keuangan. Aspek lainnya yang tak kalah penting adalah tata kelola perusahaan yang kuat. Menjadi perusahaan publik menuntut akuntabilitas tingkat tinggi. Oleh karena itu, struktur manajemen harus diperkuat, sistem pelaporan keuangan harus transparan dan sesuai standar pasar modal, serta semua proses internal harus bisa memenuhi tuntutan regulasi dan ekspektasi investor. Terakhir, startup perlu memiliki narasi monetisasi yang jelas dan masuk akal. Pasar publik tidak selalu menuntut profit segera, tetapi mereka ingin melihat bahwa perusahaan memiliki strategi yang konkret dan peta jalan menuju profitabilitas. Tanpa itu, valuasi yang tinggi hanya akan dilihat sebagai angan-angan, bukan nilai riil.

Kesimpulan: Realitas Tidak Bisa Ditawar