The Fed Melonggar, Trump–Xi Damai: Sinyal Ganda untuk Pasar RI?
Ilustrasi The Fed (Federal Reserve).
EmitenNews.com - Langkah kebijakan terbaru dari bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), serta deeskalasi ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi dua katalis besar yang membentuk arah pasar global (termasuk Indonesia) jelang akhir 2025.
Dengan latar belakang pemangkasan suku bunga The Fed, penghentian kebijakan pengetatan likuiditas (quantitative tightening), serta kesepakatan strategis Trump–Xi di APEC Korea Selatan, investor Indonesia perlu menyusun ulang ekspektasi terhadap suku bunga, nilai tukar, serta potensi capital inflow di tengah ketidakpastian makroekonomi global.
The Fed Pangkas Suku Bunga, Tapi Belum Janjikan Lagi
Pada 29 Oktober 2025, The Fed memutuskan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%–4,00%, sesuai konsensus pasar. Ini merupakan pemangkasan kedua secara beruntun, mencerminkan respons The Fed terhadap melemahnya pasar tenaga kerja dan tekanan inflasi barang yang mulai melandai.
Namun, investor tidak boleh hanyut dalam euforia. Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan bahwa pemangkasan lanjutan di Desember belum tentu terjadi. Ia menyebut bahwa penutupan pemerintah AS (government shutdown) sejak awal Oktober membuat data ekonomi terkini tidak tersedia secara penuh, dan inflasi masih di atas target. Dengan demikian, The Fed mengembalikan fokus pada “data-dependence” di mana artinya keputusan Desember akan sangat tergantung pada rilis inflasi dan ketenagakerjaan beberapa pekan ke depan.
Bagi pasar Indonesia, ini berarti arah arus modal global belum sepenuhnya berpihak pada negara berkembang. Suku bunga global mungkin sedang menurun, namun ketidakpastian masih tinggi. Yield obligasi AS (US Treasury) tenor 10 tahun justru naik ke 4,09%, dan indeks dolar AS menguat tipis 0,39%, salah dua indikator bahwa pelaku pasar belum benar-benar meyakini The Fed akan longgar secara agresif.
Fed Hentikan Quantitative Tightening: Apa Artinya?
Selain suku bunga, The Fed juga mengumumkan penghentian kebijakan quantitative tightening (QT) per 1 Desember 2025. QT atau proses di mana The Fed mengurangi kepemilikan asetnya, biasanya dengan tidak mengganti obligasi yang jatuh tempo, telah berlangsung sejak 2022 dan berperan dalam mengencangkan likuiditas global.
Kini, bank sentral AS memutuskan untuk menstabilkan portofolio asetnya dan mengalihkan dana jatuh tempo ke instrumen jangka pendek seperti Treasury bills.
Penghentian QT memiliki dua implikasi besar. Pertama, likuiditas global akan lebih longgar karena Fed tak lagi menarik dolar dari sistem perbankan. Kedua, tekanan pada biaya pendanaan di pasar uang AS bisa mereda, memungkinkan spread suku bunga global untuk menyempit.
Bagi Indonesia, ini membuka ruang bagi penguatan obligasi pemerintah (SBN) dan mendukung aliran dana asing ke pasar surat utang, terutama jika Bank Indonesia tetap mempertahankan stabilitas moneter domestik. Namun, investor tetap perlu mengamati perkembangan inflasi domestik dan nilai tukar sebagai parameter kunci respons BI.
Trump–Xi Redakan Ketegangan Dagang
Sehari setelah rapat The Fed, Presiden Donald Trump mengumumkan penurunan tarif atas produk-produk China dari 57% menjadi 47% dalam kesepakatan bilateral yang dicapai pada pertemuan APEC 30 Oktober di Korea Selatan. Dalam perjanjian itu, China juga setuju melanjutkan pembelian kedelai dari AS, memperbolehkan ekspor rare earth, serta memperlonggar akses chip AS, termasuk produk Nvidia, ke pasar domestik mereka.
Meski hanya berlaku satu tahun dan masih bersifat tentatif, kesepakatan ini meredakan salah satu sumber ketegangan perdagangan global selama lima tahun terakhir. Pasar global menyambut kabar ini dengan reaksi terbatas: Shanghai Composite turun 0,73%, STOXX 50 Eropa melemah 0,5%, dan S&P Futures hanya terkoreksi 0,04%. Ini menandakan bahwa pelaku pasar belum sepenuhnya yakin bahwa kesepakatan akan berkelanjutan.
Namun, untuk Indonesia, kesepakatan ini tetap memberi sinyal positif. Harga komoditas seperti CPO, nikel, dan batu bara cenderung diuntungkan karena rantai pasok global yang lebih lancar. Permintaan China bisa terdongkrak, mendukung ekspor Indonesia di tengah ketidakpastian pasar Eropa.
Risiko yang Perlu Diwaspadai Investor Indonesia
Meskipun secara umum kabar dari The Fed dan diplomasi AS–China tampak menenangkan, investor Indonesia tetap perlu mengantisipasi beberapa risiko penting:
Related News
Pembelajaran Penting dari Kasus Hilangnya Dana Investor Saham
Antrean IPO Makin Panjang, Awas Jebakan Batman Mengintai
Bye Supercycle: Strategi Bertahan di Saham Batu Bara Saat Harga Normal
COP30, Greenwashing dan Tragedi Sumatera Sebuah Ilusi Janji Hijau
Business Judgement Rule Jadi Tameng: Benarkah Direksi BUMN Aman?
"Investor-Pengemis" 1 Lot Saham IPO





