EmitenNews.com - Pemerintah dan rakyat Indonesia diminta tidak terjebak dengan persaingan  antara Amerika Serikat dan China. Perseteruan di antara dua negara adidaya tersebut tidak akan selesai. Padahal, hubungan keduanya bisa diibaratkan relasi benci dan rindu. Karena, AS dan China memiliki saling ketergantungan ekonomi satu dengan lainnya.


Permintaan itu disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal PB Nahdlatul Ulama, Imam Pituduh kepada media, Ahad (12/9/2021). Sutradara film berjudul ‘Super Santri: Konspirasi Menguasai Negeri’, menanggapi munculnya kembali isu Wuhan, Hubei, China terkait asal muasal virus Corona.


“Kedua negara superpower itu saling bersaing secara ekonomi dan politik internasional. Kita jangan terpengaruh pada saling tuduh dan klaim dalam kasus asal muasal pandemi Covid-19 itu,” ujar Imam yang juga penerima Penghargaan Menteri Luar Negeri Jepang Tahun 2020 itu.


Saat menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menuduh bahwa virus Corona berasal dari kebocoran di laboratorium Wuhan Institute of Virology (WIV).  Bulan lalu, Office of the Director of National Intelligence Amerika merilis laporan. Komunitas intelijen itu terbelah soal asal usul virus. Sebagian menyebut berasal dari alam dan sebagian lainnya yakin sumbernya dari laboratorium.


Menyikapi tuduhan Amerika Serikat itu, Kementerian Kesehatan Nasional China mendesak penelusuran terkait asal virus Corona penyebab pandemi Covid-19 itu diperluas ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Wakil Menteri NHC, Zeng Yixin, mengatakan, melacak asal-usul Covid-19 adalah pekerjaan ilmiah. Oleh karena itu, pemerintah China selalu menyatakan, pekerjaan itu harus dengan cara ilmiah. China menentang upaya untuk mempolitisasinya.


Sebelumnya, para ahli internasional dari misi bersama WHO-China mengatakan tidak ada bukti yang mendukung teori kebocoran laboratorium. Ini menguatkan argumen China soal adanya binatang kelelawar yang membawa vaksin Corona itu ke manusia, sampai kemudian meluas seperti saat ini. Bagi Pemerintah China, studi asal-usul virus itu adalah masalah ilmiah yang membutuhkan kerja sama ilmuwan global. 


Imam Pituduh menjelaskan menghadapi persaingan Amerika dan China tersebut, Indonesia mesti membangun orkestrasi dan berdiri di tengah-tengah atau nonblok. Secara geografis, letak Indonesia ada di tengah-tengah persilangan lalu lintas maritim global dan kita dikenal sebagai bangsa moderat.


“Oleh karena itu, Indonesia harus pintar menari di tengah tatanan global dan tidak terjebak memihak kepada satu kubu. Pemerintah Indonesia, telah arif dan bijaksana memegang teguh prinsip nonblok dan berdiri di atas kaki sendiri,” katanya.


Imam Pituduh mengatakan Indonesia mesti membangun orkestrasi dari tatanan global yang sudah berubah drastis. Saat ini, adalah zaman kolaborasi, bukan lagi era konfrontasi atau perseteruan. Masalah-masalah global seperti pandemi Covid-19, dan perubahan iklim harus ditangani bersama-sama oleh seluruh negara dan umat manusia. Karena dampaknya menimpa warga dunia, kaya atau miskin.


Para pendiri bangsa telah meletakkan dasar pergaulan global yang harus dilakukan pemerintah. Indonesia mesti bergaul dengan China, Amerika, Rusia, Eropa dan negara-negara lain di Asia, Afrika dan Amerika. Imam menyebutkan, kita tak bisa sendirian hidup di dunia. “Harus bekerja sama, asal menguntungkan NKRI.”


Indonesia, ujar Imam, harus juga menjadi pengendali orkestrasi peradaban dan membangun peradaban dunia yang lebih baik dan berkelanjutan. “Kita tengah memasuki tatanan dunia baru yang mengharuskan untuk berubah. Ada lima perang besar yang kita hadapi.”


Pertama, perang kebudayaan pop. Negara-negara berkompetisi mempengaruhi dunia dengan budaya pop-nya. Kedua, perang digital melalui platform digital dan teknologi Internet yang bakal mempengaruhi kedaulatan digital satu negara.


Ketiga, perang mata uang. Kita akan menghadapi mata uang tunggal. Keempat, perang biologi. Industri kesehatan menjadi panglimanya. Terakhir, kelima, perang perebutan energi, air bersih dan bahan-bahan makanan.


Perubahan iklim menyebabkan makin sulitnya air bersih dan sumber-sumber makanan dan berpotensi terjadinya konflik. Imam Pituduh menjelaskan bahwa kita harus memperkuat tatanan sosial dan tatanan keluarga yang kokoh. “Ini jadi benteng pertahanan terakhir NKRI.”


Pada level mikro, keluarga dan rumah tangga mesti berdaulat dalam hal pangan. Di perkotaan bisa dilakukan melalui urban farming di atap rumah atau halaman. Di perdesaan melalui tanaman sayur-mayur atau buah-buahan di pekarangan. Imam melihat, banyak warga di tingkat rukun warga dan desa saling membantu menangani pandemi Covid-19. Tolong menolong, gotong royong dan rasa saling percaya ini merupakan modal sosial yang sangat penting dan harus terus dipelihara untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim dan masalah global lainnya.


“Juga untuk mencegah sikap saling benci antarwarga dan kebencian kepada pemerintah,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PB Nahdlatul Ulama, Imam Pituduh menutup wawancaranya. ***