EmitenNews.com - Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yusril Ihza Mahendra angkat bicara soal isu kepemilikan lahannya di wilayah yang kini dijadikan Ibu Kota Negara (IKN). Lewat penjelasan yang diposting di akun Facebook dan tersebar di publik, ahli hukum tatanegara yang kini terjun sebagai pengacara ini menjelaskan status asetnya di kawasan tersebut.


Mengawali penjelasannya Yusril mengaku mendapatkan 20 persen saham dan diangkat jadi komisaris PT Mandiri Sejahtera Energindo (MSE) sebagai pembayaran jasa hukum mengangani kasusnya karena mereka dalam kesulitan membayar jasa hukum secara tunai.


"Tetapi belakangan sahamnya saya jual lagi karena tumpang tindih perizinan dan pinjam pakai kawasan hutan yang tak kunjung selesai. Sehingga tambang itu tidak pernah dapat dikerjakan oleh perusahaan tersebut," ungkapnya.


Yusril mengungkapkan IUP yang dikuasai PT MSE sudah ada belasan tahun lalu, jauh sebelum ada kabar daerah itu akan dijadikan IKN. Ketika akan dijadikan IKN, tidak pernah ada pembicaraan apapun dari siapapun termasuk dengan Pemerintah mengenai nasib IUP di kawasan itu setelah nantinya dijadikan IKN.


Ia menjelaskan

IUP yang dikuasai PT MSE berada di atas lahan 160 ha. "Hal ini tidak pernah diungkap ke publik, sehingga orang bertanya-tanya ada berapa ribu atau puluhan ribu lahan milik Yusril di kawasan IKN seperti lahan HGU atau HTI," jelasnya.


Ketidaktahuan publik ini menimbulkan kesan dirinya sudah jadi orang kaya baru menandingi para konglomerat seperti Sukanto Tanoto, Hashim Djojohadikusumo dan lain-lain. Padahal IUP sejatinya bukan kepemikikan atas tanah, melainkan hanya izin menambang (IUP) di atas tanah yang bukan miliknya. Bisa tanah dikuasai negara, bisa juga tanah milik orang lain.


Dijelaskan jika pemegang IUP akan mulai penambangan harus ada pinjam pakai dengan Kementerian Kehutanan dan LH kalau itu kawasan hutan. Atau pembebasan lahan kalau lahan itu milik orang lain, dan seterusnya.


Tapi sampai hari ini, baik pinjam pakai hutan dengan Kemenhut LH maupun pembebasan lahan dengan penduduk setempat di lahan yang diterbitkan IUPnya itu belum selesai.


Menanggapi kritik yang dilayangkan aktivis WALHI dan Eggy Sudjana, Yusril meluruskan kalau dirinya punya saham di perusahaan pemegang IUP bukan berarti dia adalah pemilik lahan 160 ha itu. "Orang yang belajar hukum seperti aktivis WALHI dan Eggy Sudjana mestinya mengerti masalah ini," sesalnya.


Seperti halnya Hak Guna Usaha (HGU) untuk kebun atau Hak Guna Bangunan (HGB), IUP hanyalah hak pakai lahan.

Dan sekarang dengan kawasan itu diputuskan menjadi kawasan IKN, maka IUP sudah pasti akan dicabut atau didiamkan sampai IUPnya berakhir, karena tidak mungkin ada kegiatan menambang di kawasan IKN.


Apakah pemegang IUP mendapat kompensasi atas lahan tambangnya karena dijadikan IKN, Yusril menegaskan, tidak samasekali. Karena lahan itu bukan milik pemegang IUP.


"Jadi keuntungan apa yang saya dapat dengan dijadikannya kawasan itu sebagai IKN? Tidak ada samasekali. Malah rugi karena sudah capek ngurusin perkara IUP-nya, ketika selesai kawasan itu dijadikan IKN sehingga tidak bisa menambang di sana," tegasnya.


Yusril menambahkan data yang terungkap ke publik bahwa dirinya menjadi pemegang saham dan komisaris perusahaan itu adalah data lama tanpa melihat perubahannya. Padahal saham sudah ia jual dan dirinya bukan lagi komisaris PT. MSE. Hal itu bisa dicek di di database Dirjen AHU Kemenhumkan.(fj)