EmitenNews.com - Dunia usaha mengharapkan penentuan upah minimum hendaknya dapat dihindarkan dari kegiatan politik praktis. Apalagi penetapan Upah Minimum Provinsi berdekatan dengan akan bergulirnya agenda politik nasional, Pemilu 2024.


"Penetapan upah minimum hendaknya semata mata dilandasi pada kepentingan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa, sehingga harus dijauhkan dari kepentingan politik sesaat menjelang kontestasi Pemilu 2024," tegas pengusaha nasional yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani.


Putri bos perhotelan, Sukamdani Sahid Gitosardjono ini berharap penetapan UMP sesuai PP terbaru dapat menggairahkan Kembali Upaya-upaya penciptaan lapangan kerja,” tandasnya.


Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sendiri dalam siaran persnya memberi apresiasi atas proses penetapan upah menurut PP 51 tahun 2023 yang dilakukan pemerintah karena melibatkan stakeholders (pengusaha, serikat pekerja, akademis pemerintah daerah) disertai waktu panjang untuk mencapai kesepakatan.


Sebagai representasi dunia usaha, APINDO juga memiliki beberapa catatan tentang pengupahan, yang menjadi faktor untuk mencapai pertumbuhan perekonomian nasional.


“Sesuai dengan fungsi strategis upah minimum dalam stabilitas perekonomian nasional, faktor keputusan berinvestasi, reformasi struktural perekonomian jangka panjang dan bentuk peran negara dalam memberi perlindungan kepada pekerja, kami di APINDO menilai bahwa formula perhitungan UMP 2024 dengan mengacu pada PP No. 51/2023 sudah baik,” kata Shinta.


Ketua Bidang Ketenagakerjaan APINDO, Bob Azam, menambahkan PP no. 51/2023 mampu mendukung keberlanjutan usaha dengan tetap mempertimbangkan keadilan tenaga kerja. "Karena itu harapannya Pemerintah Daerah menghormati dan mengikuti hasil penetapan UMP 2024 yang didasarkan pada PP No. 51/2023,” kata Bob.


APINDO juga memiliki beberapa catatan penting terkait proses penghitungan dan penetapan PP No. 51/2023, yaitu memberi kewenangan lebih luas bagi Dewan Pengupahan Daerah dalam memberikan masukan pembuatan kebijakan Dewan Pengupahan pusat dan daerah perlu diperkuat, sesuai peran penting mereka dalam komunikasi, pengawasan dan pembinaan dalam implementasi PP Pengupahan.


Penentuan indeks tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi yang direkomendasikan Dewan Pengupahan harus mempertimbangkan situasi perekonomian serta kondisi ketenagakerjaan di daerah tersebut.
Menjadi dasar ketentuan setiap daerah untuk mencegah kesenjangan upah minimum antar daerah.


“Untuk kepentingan perekonomian nasional dan daerah, kenaikan upah tidak bisa dipukul rata untuk semua daerah. Hal ini diatur secara tegas dalam PP no. 51/2023 dengan mengacu pada formula baru, yang memperhitungkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, data BPS, dan kondisi riil tingkat konsumsi maupun pertumbuhan ekonomi di masing-masing daerah,” Bob Azam menambahkan.


Dalam penentuan indeks tertentu terhadap Pertumbuhan Ekonomi (PE) yang direkomendasikan oleh Dewan Pengupahan harus mencerminkan keadaan perekonomian dan ketenagakerjaan di daerah tersebut sehingga tidak menimbulkan gejolak terhadap hubungan industrial yang dikhawatirkan menganggu penyerapan tenaga kerja.


Bob menambahkan, kesejahteraan pekerja juga merupakan bagian dari perjuangan APINDO yang diupayakan melalu perluasan bidang usaha, pelatihan, peningkatan produktivitas, sosial dialog, termasuk terbentuknya Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di perusahan-perusahaan.


Dialog bipartit antara pekerja dan perusahaan pemberi kerja dan musyawarah untuk mufakat merupakan hal yang selalu didorong oleh APINDO, selain dialog sosial agar PP No. 51/2023 dapat dilaksanakan sebaik mungkin di perusahaan dan produktivitas disertai kenaikan upah merupakan hal yang esensial untuk perekonomian Indonesia.


Shinta berharap semua pihak menyikapi ini dengan kepala dingin, menghormati ketentuan ini karena salah satu semangat dari PP No. 51/2023 adalah memberikan kepastian hukum dalam berusaha dan berinvestasi di Indonesia.(*)