EmitenNews.com  - Harga nikel mulai bangkit, ditopang oleh larangan ekspor bijih nikel Filipina dan pembatasan kuota produksi penambangan nikel oleh Indonesia. Keadaan ini menguntungkan pemain nikel besar, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam yang memiliki tambang hingga smelter nikel. 

Berdasarkan data Trading Economics, harga kontrak berjangka nikel naik 9% menjadi US$ 15.600-an per ton, Kamis (22/5/2025), dibandingkan posisi terendah dalam empat tahun terakhir US$ 14.153 per ton pada 8 April lalu. 

Seiring dengan itu, kinerja Antam diproyeksikan menguat pada 2025, seiring prospek cerah harga nikel global. Bersama segmen emas, bisnis nikel menjadi motor penggerak Antam yang menjanjikan. Pun dengan saham ANTM yang mendapatkan banyak rekomendasi buy dari analis dengan target harga tinggi, bahkan Rp 4.000 hingga akhir 2025. 

Indy Naila, investment analyst Edvisor Profina Visindo, menyampaikan, bisnis ANTM di luar emas, terutama nikel, menjadi penopang tambahan yang berpotensi mengerek margin keuntungan perseroan ke depan.

“Lonjakan harga nikel diperkirakan terjadi menyusul rencana Filipina untuk melarang ekspor bijih nikel. Ini akan menekan pasokan global dan mendorong kenaikan harga nikel. Dengan struktur bisnis hilir, ANTM berpotensi meraih margin lebih tinggi,” kata dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Menurut Indy, ANTM dapat mengerek average selling price (ASP) dan volume penjualan nikel seiring kenaikan harga komoditas tersebut. Ini akan mendongkrak kontribusi pendapatan dan laba bersih perseroan bisnis nikel secara signifikan pada 2025.

Dia menambahkan, meski emas tetap menjadi kontributor utama, diversifikasi ANTM melalui produk logam lain seperti feronikel memberikan keseimbangan bisnis yang solid. 

"Dengan insentif dari pemerintah serta potensi peningkatan permintaan global, prospek ANTM sangat positif. Target harga saham kami untuk ANTM Rp 2.800," jelas Indy.

Diversifikasi Portofolio 

Senada, Head of Research Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI) Muhammad Wafi, menuturkan, kinerja ANTM akan terdorong oleh dua segmen utama, yakni emas dan nikel. Meski pada kuartal IV-2024 hingga kuartal I-2025 emas tetap mendominasi, porsi pendapatan dari nikel diperkirakan meningkat signifikan pada paruh kedua 2025.

"Bisnis nikel akan mendapatkan momentum seiring membaiknya sentimen global, termasuk kondisi geopolitik dan permintaan kendaraan listrik (EV). Keunggulan ANTM adalah mereka tidak menjual bijih mentah, tetapi feronikel yang telah diolah, sehingga nilai jualnya lebih tinggi," ungkap Wafi.

Menurut dia, posisi ANTM sebagai BUMN dengan cadangan bahan baku melimpah serta rekam jejak operasional yang teruji menjadi keunggulan kompetitif. Selain itu, ANTM juga aktif dalam ekspansi hilirisasi, termasuk lewat proyek smelter bersama mitra strategis, untuk mengakselerasi pertumbuhan dari segmen nikel.

Dari sisi valuasi, Wafi menilai saham ANTM masih relatif undervalued. Jika mengacu pada valuasi historis dan dibandingkan dengan para pesaing , ANTM memiliki ruang kenaikan signifikan. 

“Target harga jangka pendek Rp 2.700, namun untuk full year 2025 kami perkirakan bisa tembus Rp 4.000, dengan rekomendasi buy," ujar dia.

Dengan portofolio yang semakin terdiversifikasi dan dukungan kebijakan hilirisasi mineral dari pemerintah, dia menilai, ANTM memiliki posisi strategis untuk menangkap peluang pertumbuhan jangka panjang. Selain penguatan harga komoditas, efisiensi biaya, dan ekspansi hilir juga menjadi penopang utama kinerja ke depan.

Di tengah volatilitas global, demikian Wafi, langkah ANTM memperkuat fondasi bisnis dari nikel memberi sinyal bahwa ketergantungan pada satu komoditas tidak lagi menjadi strategi utama. 

Dengan dua motor penggerak, yakni emas dan nikel, ANTM kian siap memacu kinerja yang berkelanjutan pada 2025.