EmitenNews.com -Bank-bank kategori BUKU IV merupakan institusi keuangan dengan modal inti di atas Rp30 triliun, seperti BCA, BRI, BNI, dan Bank Mandiri, yang selalu menjadi poros utama sistem perbankan nasional. Mereka bukan hanya dominan dalam penyaluran kredit, tapi juga menjadi indikator kekuatan stabilitas finansial di Indonesia.

Namun, dalam beberapa waktu terakhir, sektor ini menghadapi tekanan baru: lonjakan rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL). Meskipun angka-angka kinerja tetap impresif, lonjakan NPL menjadi sinyal peringatan bahwa tidak semua berjalan mulus.

Bagaimana para raksasa perbankan ini merespons? Strategi apa yang mereka tempuh untuk menjaga ketahanan dan kredibilitas di tengah tekanan kualitas aset?

NPL: Indikator Kesehatan yang Mengkhawatirkan

NPL menjadi salah satu indikator utama dalam menilai kualitas aset bank. Ketika rasio NPL meningkat, itu menunjukkan bahwa semakin banyak debitur yang gagal memenuhi kewajiban pembayaran. Bagi bank, ini berarti peningkatan risiko kerugian, penurunan pendapatan bunga, dan kebutuhan akan pencadangan dana yang lebih besar.

Dalam konteks BUKU IV, meski rata-rata NPL masih dalam batas wajar (sekitar 1–2%), tren kenaikannya—terutama dari sektor mikro, UMKM, dan kredit restrukturisasi pasca-COVID-19—menimbulkan kekhawatiran. Bank-bank besar yang sebelumnya sangat agresif dalam ekspansi kredit kini mulai menunjukkan pendekatan lebih hati-hati.

Kekhawatiran juga timbul dari efek berantai yang bisa terjadi jika NPL terus naik tanpa penanganan strategis. Penurunan kualitas aset dapat menekan pertumbuhan laba, menurunkan minat investor terhadap saham bank, hingga memengaruhi kemampuan bank menyalurkan kredit baru. Oleh karena itu, memahami dinamika di balik angka NPL bukan hanya soal teknikal, tetapi juga strategis bagi kelangsungan bisnis perbankan jangka panjang.

Tantangan: Antara Tekanan Makro dan Ketahanan Kredit

Normalisasi pasca restrukturisasi COVID-19 menjadi salah satu penyebab utama munculnya tekanan baru. Banyak kredit yang sebelumnya diberi kelonggaran kini memasuki masa jatuh tempo, dan tidak semua debitur memiliki kemampuan bayar yang pulih sepenuhnya. Risiko muncul terutama di segmen mikro dan UMKM yang lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi.

Di sisi lain, tekanan eksternal dari ketidakpastian global, ketegangan geopolitik, dan tingginya inflasi juga memperlambat aktivitas usaha. Hal ini memengaruhi arus kas banyak debitur korporasi, terutama di sektor-sektor seperti manufaktur, ekspor, dan komoditas. Bank-bank besar pun mulai lebih selektif, memprioritaskan kualitas portofolio dibanding kuantitas ekspansi.

Tekanan ini juga menuntut perubahan pada pendekatan kredit bank. Tidak cukup lagi mengandalkan ekspansi volume, bank perlu mengintegrasikan strategi mitigasi risiko sejak awal proses underwriting. Bank yang lambat beradaptasi bisa terjebak dalam peningkatan risiko sistemik yang berbahaya dalam jangka panjang.

Strategi Bank BUKU IV: Bertahan Sambil Menjaga Momentum

Peningkatan pencadangan risiko menjadi langkah awal yang paling nyata. Dengan coverage ratio di atas 200%, bahkan mencapai 300% untuk beberapa bank seperti Mandiri dan BRI, mereka memastikan bahwa potensi kerugian bisa ditanggulangi tanpa mengganggu kinerja laba secara keseluruhan. Ini mencerminkan prinsip kehati-hatian yang kini semakin diutamakan.

Penghapusbukuan kredit bermasalah juga menjadi strategi taktis. Langkah ini membantu menjaga neraca tetap bersih serta mempercepat proses pemulihan dari portofolio bermasalah. Namun, bank harus tetap berhati-hati agar tidak menjadikan write-off sebagai jalan pintas yang mengaburkan realita risiko.

Konsolidasi portofolio kredit mikro juga makin diperkuat. Bank seperti BRI, yang selama ini memiliki eksposur tinggi terhadap kredit mikro dan ultra mikro, mulai memperbaiki model penilaian kredit dan meningkatkan pemantauan secara digital melalui teknologi data analytics.

Diversifikasi juga jadi kunci. Bank memperluas portofolio ke sektor-sektor yang dinilai lebih resilien, seperti sektor energi terbarukan, ekonomi digital, dan kesehatan. Pendekatan ini bukan hanya untuk mengejar keuntungan, tetapi juga menjaga stabilitas jangka panjang.

Prospek dan Arah Kebijakan ke Depan

Meski tantangan cukup nyata, prospek sektor perbankan tetap positif jika strategi mitigasi dijalankan dengan konsisten. Regulasi dari OJK dan BI pun semakin diarahkan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan risiko, termasuk pengetatan standar pencatatan kredit restrukturisasi agar tidak menimbulkan ilusi kualitas.

Bank juga semakin mengandalkan digitalisasi untuk menilai kelayakan kredit dan mendeteksi potensi NPL lebih awal. Algoritma dan kecerdasan buatan (AI) digunakan untuk menyaring data nasabah, mengevaluasi pola pembayaran, serta menyesuaikan penawaran kredit dengan profil risiko yang lebih akurat. Ini menandai transformasi manajemen risiko yang lebih canggih dan berbasis data.

Keterlibatan teknologi ini bukan sekadar tren, tapi kebutuhan mendesak. Dengan pasar yang semakin cepat berubah dan risiko yang tidak lagi linear, ketepatan dalam pengambilan keputusan menjadi faktor pembeda antara bank yang bertahan dan yang tertinggal.

Kesimpulan: Stabil, Tapi Perlu Waspada

Bank BUKU IV tetap menjadi jangkar keuangan nasional. Namun, kenaikan NPL menjadi pengingat bahwa pertumbuhan kredit tidak boleh mengabaikan kualitas. Strategi seperti peningkatan pencadangan, pengetatan seleksi debitur, dan pemanfaatan teknologi adalah langkah proaktif yang harus terus dikembangkan.