EmitenNews.com—Di tengah ketidakpastian ekonomi, pendapatan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) diprediksi tetap tumbuh secara berkelanjutan yang didorong oleh permintaan KPR yang tinggi. Bahana Sekuritas menetapkan target harga BBTN pada Rp1.950, setara dengan kenaikan 29,14% dibandingkan harga saham hari ini.


Dalam riset terbarunya, Analis Bahana Sekuritas Yusuf Ade Winoto dan Nathania Giovanna mengatakan permintaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BTN akan tetap kuat, yang didorong oleh fokus pemerintah dalam penyaluran subsidi perumahan.


Dalam kurun waktu 2016 sampai 2021, subsidi pemerintah ke sektor perumahan terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (compounded annual growth rate/CAGR) sebesar 41,2%. Untuk 2022, anggaran subsidi meningkat 13.1% menjadi Rp25,53 triliun. Untuk 2023 indikatif anggaran subsidi perumahan mencapai Rp29,53 triliun, meningkat 16,8%.


“BBTN menjadi penerima manfaat utama dari pertumbuhan anggaran perumahan subsidi karena porsi KPR subsidi mencapai 48% dari total KPR BBTN,” ujarnya dalam dalam riset yang dipublikasi akhir pekan lalu. KPR memiliki porsi sekitar 90% dari seluruh kredit BBTN.


Program subsidi perumahan bernama Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dikelola oleh badan pemerintah bernama BP Tapera. Melalui program ini, BBTN mendapatkan pendanaan dari BP Tapera sebesar 75% dan  25% diperoleh dari Sarana Multigriya Finansial (SMF). Dari dana BP Tapera, biaya dana (cost of fund) hanya 0,5%, sementara untuk dana dari SMF biaya dananya 4,45%. Secara keseluruhan cost of fund dari program FLPP hanya 1,5%. Program KPR FLPP mengenakan bunga sebesar 5% sehingga spread margin bagi BBTN sebesar 3,5%


Yusuf dan Nathania mengatakan bahwa BBTN bisa mengamankan porsi terbesar dari KPR FLPP karena memiliki hubungan yang kuat dengan pengembang, khususnya pengembang perumahan murah. Faktor lainnya adalah pengalaman panjang di bisnis KPR, proses bisnis yang mapan dan mencapai skala ekonomi yang tinggi serta nasabah yang besar dan setia.


Riset Bahana juga menyatakan bahwa BBTN juga diuntungkan oleh tren yang kuat dari permintaan KPR. Hal ini tercermin dari rasio KPR terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat secara bertahap, dari 2,5% pada 2011 menjadi 3,5% pada 2021.


Di industri perbankan KPR juga terus meningkat secara konsisten dengan CAGR 11,6% pada periode 2011-2021. “BBTN berhasil mendongkrak pangsa pasar di industri KPR, dari 24,6%  di tahun 2011 menjadi 37,4% di tahun 2021,” ujarnya.


Dalam riset yang sama, Bahana Sekuritas menyatakan struktur pendanaan BBTN masih memiliki ruang untuk menjadi lebih efisien dengan aset yang berkualitas.


Dengan transformasi cabang menjadi fokus pada penjualan dan layanan, BBTN mampu meningkatkan rasio tabungan dan giro (current account saving account/CASA) terhadap total dana pihak ketiga. Pertumbuhan DPK banyak terjadi pada produk giro segmen komersial. Dengan peningkatan CASA, cost of fund BBTN turun signifikan, dari 5,7% pada 2019 menjadi 2,4% pada akhir September 2022.


“Bank terus mengembangkan produk dan layanan untuk peningkatan CASA dan DPK melalui layanan mobile banking dan cabang virtual,” ujarnya sambil menambahkan rasio CASA terhadap DPK diprediksi mencapai 44,3% pada 2023.


Riset Bahana menyatakan BBTN juga akan terus memperkuat modal intinya sambil berupaya untuk menurunkan pinjaman bermasalah (net performing loan/NPL). Dalam penguatan modal, BBTN akan menggelar rights issue pada Desember 2022 mendatang.


Saat ini manajemen sedang dalam proses untuk melakukan penetapan harga akhir dan struktur rights issue. Target dana dari rights issue adalah Rp4,13 triliun, setara dengan 19,1% dari ekuitas dan 25,5% dari kapitalisasi pasar. Dana dari rights issue akan meningkatkan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) menjadi 19%-20%.


Sebagai pemegang saham pengendali BBTN, dengan porsi kepemilikan sebesar 60%, pemerintah menyatakan siap menyerap seluruh rights senilai Rp2,48 triliun melalui penyertaan modal negara (PMN).


Sementara dalam penyelesaian NPL, BBTN berencana untuk melakukan penjualan aset secara massal. “Ini akan memungkinkan BBTN untuk melepas sejumlah besar aset bermasalah untuk mengurangi loan at risk (LAR) secara signifikan,” tulis riset Bahana.


Nilai aset yang akan dilepas sebesar Rp1,07 triliun dan akan menurunkan biaya pencadangan senilai Rp 700 miliar. Program ini juga akan menurunkan NPL sebesar 0,06% dan LAR sebesar 0,18%.


Skema pelepasan aset ini akan melibatkan special purpose vehicle yang akan menjual aset tersebut kepada investor dan hasilnya akan digunakan untuk membeli surat berharga syariah atau sukuk yang diterbitkan pihak lain. Menurut Bahana, program ini sedang menunggu persetujuan dari regulator dengan target penyelesaian pada kuartal IV-2022.