EmitenNews.com - Aktivitas pinjaman online mulai meresahkan. Karena itu, Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel meminta agar pemerintah atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan moratorium terhadap aktivitas pinjol, seiring kian maraknya praktik ilegal yang sangat merugikan masyarakat. Situasi ini juga harus menjadi introspeksi bagi perbankan, koperasi, dan PNM, agar memperkuat jejaringnya, dan bisa menjangkau masyarakat banyak.


"Tiap hari kita disodori berita menyedihkan dari masyarakat yang terbelit masalah akibat praktik tidak sehat dari pengelola pinjaman online. Bahkan ada yang bunuh diri karena tidak bisa membayar cicilan utang mereka yang membengkak secara luar biasa. Pinjam satu-dua juta, tapi pengembaliannya bisa membengkak sampai puluhan juta. Ini kan tidak masuk akal. Untuk melindungi masyarakat, saya minta OJK melakukan moratorium. Stop dulu," kata Rachmat Gobel, Rabu (15/9/2021).


Rachmat Gobel mengakui, ide awal dari kelahiran pinjol ini untuk meningkatkan inklusivitas sektor keuangan. Namun, politikus Partai NasDem ini melihat, dalam praktiknya terlihat ada ketidaksiapan dari berbagai lembaga terkait. Inilah yang kemudian membuat munculnya praktik tidak sehat, bahkan menjamurnya pengelola pinjol ilegal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.


Seperti diberitakan di berbagai media maupun seperti beredar di media sosial, rakyat kecil banyak terjerat pinjol. Mereka teriming-imingi oleh kemudahan pinjol tapi kemudian tak mampu membayar karena bunganya berlipat. Padahal, mereka umumnya rakyat kecil yang sedang kesusahan, seperti kemiskinan maupun kehilangan pekerjaan. Kalau praktik pinjol seperti ini, mereka jadi seperti rentenir.


Karena itu Rachmat Gobel meminta OJK perlu melakukan evaluasi serius terhadap keberadaan pinjol ini. Mereka perlu membuat pemetaan dari berbagai masalah yang muncul selama ini dan bagaimana mengatasinya. Termasuk bagaimana mengatasi perusahaan pinjol yang beroperasi dari luar negeri. Ini harus segera dilakukan agar situasi tidak semakin memburuk.


Menurut data Satgas Waspada Investasi (SWI) Otoritas Jasa Keuangan, penegakan hukum penanganan pinjol masih menghadapi banyak masalah, terutama yang ilegal. Mereka sulit ditangani karena pemilik pinjol ilegal ini hanya 22 persen yang memiliki server di Indonesia. Sedangkan, 44 persen lainnya tidak terdeteksi dan sisanya berada di luar negeri.


Yang tidak kalah pentingnya, Rachmat Gobel menilai, maraknya pinjol ini juga harus menjadi indikator bagi otoritas keuangan untuk introspeksi bagi lembaga-lembaga keuangan seperti bank, koperasi, dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Menurut mantan Menteri Perdagangan ini, maraknya pinjol tidak terlepas dari ketidakmampuan bank, koperasi dan PNM menjangkau orang-orang yang sedang kesusahan tersebut.


“Pemerintah dan otoritas keuangan segera memperkuat perbankan untuk rakyat kecil, koperasi, dan PNM. Berikan prosedur lebih mudah. Selain itu, juga harus  memperkuat jejaringnya agar bisa menjangkau ke seluruh pelosok negeri,” katanya.


Menurut survei Bank Indonesia (BI), pelaku usaha kecil yang sudah mendapat aliran kredit dari bank sebenarnya baru mencapai 30,5 persen dari total UMKM di dalam negeri. Sisanya 69,5 persen belum mendapat akses kredit dari bank. Dari jumlah ini sekitar 43 persen dinilai sangat membutuhkan kredit dengan potensi bisa mencapai Rp1.600 triliun.


"Jadi, kesenjangan kredit masih tinggi. Karena itu tidak boleh menyalahkan masyarakat jika mereka tergiur dengan pinjol. Mereka sangat membutuhkan pembiayaan, tapi bank, koperasi dan PMN tidak mampu melayani kebutuhan itu. Kondisi inilah yang harus dibenahi," kata Rachmat Gobel.


Dari sisi regulasi, menurut Rachmat, perlindungan terhadap masyarakat belum kuat karena kehadiran perusahaan pinjol baru diatur berdasarkan Peraturan OJK No 77 Tahun 2016. Selain itu, sampai saat ini UU Perlindungan Data Pribadi belum juga bisa disahkan karena pemerintah tidak setuju dibentuknya lembaga pengawas yang bersifat independen.


Terkait dengan aktivitas keuangan digital seperti pinjol, Indonesia membutuhkan UU Financial Technology (Fintech) dan UU Perlindungan Data Pribadi. Namun sampai saat ini UU Fintech masih menjadi wacana. ***