Dalam perjanjian itu, kata dia, disepakati hasil penjualan produk PT Titan Infra Energy berupa batu bara sebanyak 20 persen sebagai jaminan pembayaran pelunasan kredit. Lalu, 80 persen disepakati sebagai dana operasional PT Titan Infra Energy.

 

Tetapi, ujar Arief, sejak Februari 2020, kreditur sindikasi bank yang mengucurkan uang ke Titan tidak lagi menerima pembayaran angsuran alias kredit macet dan telah masuk ke dalam program restrukturisasi.

 

Badan pengawas independen yang ditunjuk pihak bank untuk mengawasi kegiatan produksi dan jual beli Titan juga melaporkan bahwa hasil penjualan produksi batu bara tersebut ternyata diduga digunakan untuk kegiatan lain di luar perjanjian kredit yang tertera, sehingga menyebabakan kredit macet.

 

Arief mengungkapkan, Mandiri sebagai lead kreditur sudah berusaha menagih hutang hingga melakukan somasi, namun diabaikan. Pihak bank akhirnya melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri. “Praperadilan Titan harus ditolak demi penyelamatan uang negara,” tegas dia.