EmitenNews.com—Harga surat utang properti Indonesia merosot, memperkuat sinyal adanya tekanan berat pada obligasi properti yang semakin dalam di China, Korea Selatan, dan Vietnam.


Data Bloomberg menunjukkan, harga obligasi dolar 2024 PT Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) memperpanjang penurunan minggu ini menjadi 6,7 sen, penurunan terburuk sejak Juli 2021. Harga surat utang APLN mencapai rekor terendah 37 sen per dolar dari nilai utangnya.


Tanda-tanda lain adanya tekanan muncul kembalu pada Rabu lalu, ketika Fitch Ratings menurunkan peringkat obligasi PT Kawasan Industri Jababeka, Tbk (KIJA) menjadi  junkbond. Laman Bloomberg, Kamis (10/11), menyebutkan, Fitch meyakini tawaran pertukaran utang lama dengan utang baru dari KIJA belum lama ini dilakukan untuk menghindari  default .


Bloomberg juga mengabarkan, S&P Global Ratings memangkas peringkat Jababeka minggu ini, dengan outlook negatif dan ekspektasi bisa di- downgrade  lebih lanjut menjadi  selective default.  Sementara itu, obligasi dolar Jababeka 2023 menyentuh level terendah sejak Agustus pada Senin lalu, tetapi telah berlanjut sedikit membaik menjadi pada 48,6 sen dolar pada Kamis ini.


Pada Kamis lalu, giliran surat utang PT Lippo Karawaci, Tbk (LPKR) yang akan jatuh tempo pada tahun 2026, turun sekitar 0,3 sen menjadi 54 sen dolar. Obligasi LMIRT Capital 2026 juga memperpanjang penurunan menjadi 55 sen per dolar. Surat utang dengan harga di bawah 70 sen per dolar biasanya dianggap tertekan.


Tekanan terus meningkat ketika perusahaan properti di lebih banyak negara harus bergumul dengan penjualan yang lebih lambat dan biaya pinjaman yang lebih tinggi.


Kenaikan suku bunga di seluruh dunia mengekspos risiko yang telah terakumulasi di pasar properti, yang dibiayai dengan pendanaan murah selama pandemi. Korea Selatan, Kamis, meluncurkan langkah-langkah baru untuk membantu pasar real estatnya yang sedang babak belur dalam bentuk jaminan tambahan untuk pembiayaan proyek.


China telah bergulat dengan krisis utang properti karena  default pengembang memburuk mencapai rekor terparah. Di Vietnam, perusahaan-perusahaan properti berjuang untuk mengakses modal dan pembeli rumah potensial menghadapi pengetatan kredit setelah tindakan keras pemerintah terhadap penjualan obligasi.