EmitenNews.com - Uji materi UU Tipikor menggerakkan para tokoh untuk turun gunung. Sebanyak 24 tokoh antikorupsi menyampaikan pandangan sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) terkait uji materi (judicial review) atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001. Mereka menilai pemberantasan korupsi telah salah arah.

Dalam keterangannya yang dikutip Kamis (28/8/2025), mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry Riyana Hardjapamekas mengatakan uji materi tersebut menarik perhatian mereka, yang tergabung dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan.

"Kemudian kami sepakat menyampaikan pandangan yang dituangkan secara tertulis dan ditandatangani bersama. Keterangan tertulis ini telah kami kirimkan sebagai amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Koordinator Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan itu, dalam konferensi pers, di Jakarta.

Para tokoh antirasuah itu, bersatu dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan menandatangani amicus curiae di Jakarta.

Permohonan uji materi tersebut diajukan ke MK oleh mantan Direktur Utama Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) Syahril Japarin. Lainnya, mantan pegawai Chevron Indonesia Kukuh Kertasafari, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, serta eks Direktur Utama Merpati Airlines Hotasi Nababan.

Secara prinsip, para tokoh antikorupsi setuju dengan permohonan uji materi yang diajukan. Mereka menilai pemberantasan korupsi di Indonesia telah salah arah dan justru tidak efektif.

Pasalnya, korupsi tidak lagi dilihat sebagai perbuatan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang tidak sah, namun sebatas pada semua perbuatan yang dipandang merugikan keuangan negara.

Karena cara pandang keliru itu, orang-orang yang beritikad baik dan tidak punya niat untuk korupsi, serta orang yang menjalankan kewajibannya tanpa menerima suap bisa menjadi terpidana korupsi.

"Ini terjadi karena perkara korupsi lebih fokus pada unsur kerugian keuangan negara yang perhitungannya kerap tidak nyata dan tidak pasti, bahkan menggunakan asumsi atau prediksi,” tutur Erry Riyana Hardjapamekas.

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dinilai menekankan pada dua elemen utama, yaitu perbuatan melawan hukum dan dampak berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.

Sementara itu, Pasal 3 UU Tipikor, mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatannya, yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sementara itu, ekonom sekaligus mantan Staf Khusus Wakil Presiden RI, Wijayanto Samirin menyampaikan penanganan perkara korupsi di Indonesia cenderung lebih menekankan pada aspek kerugian negara daripada unsur memperkaya diri secara melawan hukum.

Padahal, potensi rugi atau untung merupakan konsekuensi dari pengambilan keputusan, misalnya dalam konteks bisnis Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Akibatnya, hal itu mengaburkan esensi korupsi, yaitu sebagai perbuatan curang yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara tidak sah, baik bagi diri sendiri maupun pihak lain.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat menambahkan salah fokus dalam pemberantasan korupsi berdampak buruk pada kualitas penegakan hukum. Selain itu, juga menciptakan ketidakpastian bagi mereka yang bekerja di sektor publik, dan menjadikan upaya pencegahan bukan sebagai prioritas.

“Dengan banyaknya contoh kasus yang ada, para pejabat termasuk direksi BUMN menjadi takut membuat keputusan strategis yang dapat membawa risiko keuangan, meskipun keputusan tersebut bertujuan untuk kebaikan publik,” ujar Komaruddin.

Dalam uraian pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan definisi korupsi dalam UU Tipikor yang menekankan kerugian negara sebagai indikasi korupsi tidak diakui negara lain.