EmitenNews.com - Mari tingkatkan upaya untuk melindungi konsumen digital. Salah satunya menurut Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dengan merevisi Undang-Undang (UU) Perlindungan Konsumen. UU ini dinilai sudah tidak bisa mengakomodir perkembangan dunia digitalisasi. 

 

Pasalnya, UU Perlindungan Konsumen berlaku pada April 2000, beberapa dekade sebelum transaksi digital mulai berkembang pesat.

 

Dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (13/7/2023), Media Relations Manager CIPS Vera Ismainy mengatakan, upaya preventif melalui edukasi konsumen dan literasi keuangan yang lebih baik juga diperlukan untuk memastikan perlindungan konsumen. Hal itu terutama diatur oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur hak dan kewajiban konsumen dan penjual.

 

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pada 2021, pengaduan terhadap industri jasa keuangan mencapai 49,6 persen dari seluruh pengaduan yang diterima. Sekitar 22 persen di antaranya terkait dengan perusahaan pemberi pinjaman peer-to-peer (P2P) ilegal.

 

Di tempat kedua, E-commerce dengan 17,2 persen keluhan, sebagian besar terkait pengiriman, konsumen gagal menerima produk yang mereka pesan, dan kualitas produk.

 

Pemerintah telah melakukan upaya untuk memperbarui peraturan untuk memenuhi jaringan ekonomi digital. Tetapi, menurut Vera, perbaikan yang signifikan masih diperlukan untuk menegakkan peraturan secara efektif.

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Mei 2022, memperbarui ketentuan tentang perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan, melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. ***