EmitenNews.com - Pergerakan kurs rupiah ternyata sangat mempengaruhi penerimaan perpajakan dibanding variabel makro ekonomi lainnya. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkapkan, setiap pelemahan atau depresiasi nilai tukar rupiah sebesar Rp100 per USD, akan memberikan tambahan penerimaan perpajakan sebesar Rp3,5 triliun.

"Dalam konteks ini nilai tukar rupiah menjadi variabel makro ekonomi yang paling sensitif mempengaruhi penerimaan perpajakan," kata Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Untuk pertumbuhan ekonomi, pengaruhnya menjadi kedua yang terbesar. Setiap kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,1% akan memberikan tambahan penerimaan sekitar Rp2,1 triliun.

Fakta itu jelas mencerminkan korelasi positif antara aktivitas ekonomi riil dengan setoran pajak. Angka ini sedikit lebih tinggi dibanding dampak kenaikan inflasi atau harga minyak mentah Indonesia (ICP).

Kemudian, untuk inflasi dan ICP, masing-masing setiap kenaikan 0,1% dan USD1 per barel maka menyumbang penerimaan tambahan Rp1,9 triliun. Menurut Bimo, kenaikan inflasi akan cenderung tingkatkan basis pajak nominal sedangkan kenaikan ICP berdampak langsung terhadap PPh migas.

Lalu, lifting minyak dan gas bumi serta sektor keuangan dinilai sensitivitasnya paling rendah terhadap penerimaan pajak. Setiap kenaikan lifting minyak dan gas bumi sebesar 10.000 barel per hari hanya berkontribusi sebesar Rp0,3 triliun dan Rp 0,4 triliun terhadap penerimaan pajak.

"Dampaknya justru lebih besar ke pos PNBP," tegas Bimo Wijayanto.

Strategi DJP memitigasi potensi pajak hilang akibat patuhnya masyarakat

Dalam rapat kerja yang sama, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan sejumlah strategi untuk mitigasi potensi pajak yang hilang akibat masih belum patuhnya masyarakat dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajaknya.

Strategi ini menjadi penting karena kesenjangan kepatuhan atau compliance gap Indonesia masih sangat tinggi. Data terakhir yang merujuk pada World Bank untuk periode 2016-2021, compliance gap di Indonesia mencapai Rp548 triliun, atau setara 3,7% dari PDB.

Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan policy gap atau nilai pajak yang tidak terpungut karena kebijakan seperti insentif yang sebesar Rp396 triliun atau setara 2,7% PDB.

Compliance gap ini sebesar 3,7% atau Rp548 triliun. 

“Ini mencerminkan potensi-potensi ketidakpatuhan, penghindaran pajak, dan juga penggelapan pajak," kata Bimo Wijayanto saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

Saat ini, DJP telah mendesain strategi peningkatan pelatihan dengan implementasi penegakan hukum atau enforcement yang lebih tertarget atau targeted.

DJP juga menerapkan compliance risk management untuk mengurangi compliance gap tanpa membebani wajib pajak yang sudah patuh. Lainnya, strategi soft engagement melalui edukasi. 

Di sisi lain, juga terus dilakukan upaya mengurangi ketidakpatuhan akibat ketidakpemahaman wajib pajak dalam menunaikan pembayaran pajaknya ke negara.

“Kemudian,  memperkuat digitalisasi administrasi dengan implementasi coretax, lalu digitalisasi administrasi, e-faktur, e-bukti potong, e-filing, pemadanan NIK-NPWP dan single profile untuk tingkatkan basis pajak, kemudian pertukaran informasi atau automatic exchange of information (AEoI)," tutur Dirjen Pajak Bimo Wijayanto. ***