EmitenNews.com -Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menunjukkan performa yang sangat mengesankan dalam beberapa waktu terakhir. Penguatan indeks yang terjadi di tengah ketidakpastian global dan fluktuasi ekonomi domestik menjadi sinyal positif bagi pasar modal Indonesia. Namun, di balik euforia tersebut, ada fenomena menarik yang terus berulang: meningkatnya minat investor terhadap saham-saham yang disebut “gorengan”.

Fenomena ini menimbulkan paradoks, mengapa di tengah meningkatnya literasi keuangan dan ketersediaan informasi yang begitu luas, saham berisiko tinggi justru masih menjadi magnet bagi sebagian besar investor ritel? Untuk memahami hal ini, perlu dilihat dari berbagai sisi: psikologis, fundamental pasar, hingga dinamika perilaku investor di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Apa Itu Saham “Gorengan”?

Istilah saham “gorengan” bukanlah istilah resmi dalam dunia investasi, melainkan istilah populer di kalangan pelaku pasar. Saham “gorengan” merujuk pada saham-saham yang harganya dapat naik dan turun secara ekstrem dalam waktu singkat, umumnya bukan karena kinerja fundamental perusahaan, melainkan akibat aktivitas spekulatif, sentimen pasar, atau manipulasi harga oleh pihak tertentu.

Ciri-ciri saham “gorengan” cukup mudah dikenali, antara lain:

  1. Kapitalisasi pasar kecil (biasanya di bawah Rp500 miliar).
  2. Volume transaksi melonjak tiba-tiba tanpa alasan fundamental.
  3. Pergerakan harga tidak sejalan dengan kinerja laporan keuangan.
  4. Kepemilikan publik yang sempit, sehingga mudah digerakkan oleh “pemain besar”.

Meskipun berisiko tinggi, saham “gorengan” sering kali menjadi incaran karena potensi keuntungan jangka pendek yang luar biasa besar kadang mencapai puluhan hingga ratusan persen hanya dalam hitungan minggu atau bulan.

Kenaikan IHSG dan Euforia Pasar

Kenaikan IHSG biasanya diikuti dengan meningkatnya optimisme investor. Saat indeks menunjukkan tren positif, banyak investor baru yang masuk ke pasar saham, baik melalui akun ritel maupun melalui platform digital investasi. Fenomena ini menciptakan liquidity boost atau lonjakan likuiditas di pasar yang tidak hanya mengalir ke saham-saham unggulan (blue chip), tetapi juga ke saham lapis dua dan tiga yang memiliki harga murah.

Dalam kondisi seperti ini, saham “gorengan” kerap mendapat “angin segar”. Para trader jangka pendek melihat peluang cepat meraih capital gain tanpa perlu menunggu kinerja fundamental membaik. Akibatnya, pergerakan harga menjadi semakin liar, menciptakan semacam “mini bubble” di beberapa sektor.

Hal ini juga diperkuat oleh fenomena herding behavior, yakni kecenderungan investor untuk mengikuti tindakan mayoritas. Ketika melihat harga suatu saham naik tajam, banyak investor ikut membeli tanpa analisis mendalam, hanya agar tidak tertinggal fear of missing out (FOMO). Dalam konteks inilah, saham “gorengan” sering menjadi bintang sementara di tengah reli IHSG.

Daya Tarik Psikologis di Balik Saham “Gorengan”

Dari sisi psikologis, saham “gorengan” menawarkan sensasi tersendiri bagi investor. Naik-turunnya harga yang cepat memberikan adrenalin mirip dengan berjudi, sehingga memicu ketagihan bagi sebagian orang. Banyak investor pemula yang termotivasi oleh kisah sukses instan di media sosial seseorang yang berhasil mengubah modal kecil menjadi ratusan juta rupiah dalam waktu singkat.

Padahal, kisah seperti itu sering kali tidak menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Sebagian besar investor yang mencoba peruntungan di saham “gorengan” justru mengalami kerugian besar. Namun, bias kognitif seperti overconfidence (terlalu percaya diri) dan gambler’s fallacy (keyakinan bahwa hasil masa lalu memengaruhi peluang masa depan) membuat banyak orang tetap kembali mencoba.

Dari sisi perilaku, saham “gorengan” memberi ilusi kontrol seolah-olah investor dapat menebak arah harga melalui feeling atau pola teknikal sederhana, padahal kenyataannya pergerakan tersebut sering kali digerakkan oleh pihak yang memiliki dana besar (market maker).

Dampak terhadap Pasar dan Investor Ritel

Fenomena saham “gorengan” tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada ekosistem pasar modal secara keseluruhan. Bagi Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), lonjakan transaksi pada saham-saham berisiko ini menjadi perhatian serius karena berpotensi mengganggu stabilitas pasar.

Dari sisi investor, efeknya bisa fatal. Ketika harga saham “gorengan” jatuh, banyak investor pemula kehilangan modal secara signifikan dan kehilangan kepercayaan terhadap pasar modal. Padahal, tujuan utama investasi di saham seharusnya adalah membangun kekayaan jangka panjang, bukan mengejar keuntungan sesaat.