Hal tersebut juga sejalan dengan Pasal 11 ayat (1) huruf a dan b UU 19/2019 tentang KPK serta putusan MK nomor: 62/PUU-XVII/2019, di mana kata “dan/atau” dalam Pasal tersebut dapat diartikan secara kumulatif maupun alternatif. “

Artinya, KPK bisa menangani kasus korupsi di BUMN jika ada penyelenggara negara, ada kerugian keuangan negara, atau keduanya,” tuturnya.

Lebih lanjut, Jenderal polisi bintang tiga ini mengatakan, penegakan hukum atas tindak pidana korupsi di tubuh BUMN merupakan upaya untuk mendorong penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). 

"Sehingga pengelolaan BUMN sebagai kepanjangan tangan negara yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dapat tercapai," ucap dia. 

UU BUMN menjadi sorotan karena membuat KPK tidak bisa menangkap pimpinan perusahaan pelat merah. Pasal 3X Ayat (1) UU itu menyatakan, "Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara". Kemudian, Pasal 9G berbunyi, "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara". 

Sementara itu, UU KPK mengatur bahwa subyek hukum yang ditindak dalam korupsi adalah penyelenggara negara. 

Sampai di sini, KPK kembali menekankan bahwa tetap memiliki kewenangan untuk melakukan pengusutan terhadap kasus korupsi di BUMN. 

Sebab, dalam konteks hukum pidana, status mereka tetap sebagai penyelenggara negara dan kerugian yang terjadi di BUMN merupakan kerugian negara, sepanjang terdapat perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan atas prinsip Business Judgment Rule (BJR). ***