Mahasiswa UGM Minta Pratikno dan Ari Dwipayana Kembalikan Martabat Sebagai Akademisi

Penyataan sikap Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM). dok. CNN Indonesia.
Sedihnya lagi, di tengah perhelatan Pemilu 2024, mereka mengaku menyaksikan demokrasi sedang menuju ambang kematiannya. Rakyat disuguhi serangkaian tindakan pengangkangan etik dan penghancuran pagar-pagar demokrasi oleh penguasa.
Para penguasa tanpa malu-malu menunjukkan praktik korup
Dalam pandangan anak-anak muda itu, para penguasa tanpa malu-malu menunjukkan praktik-praktik korup demi langgengnya kekuasaan. Konstitusi dibajak untuk melegalkan kepentingan pribadi dan golongannya.
Kekuasaan telah merusak pagar yang menjaga agar demokrasi tetap hidup dan terus dapat dirayakan. Jika pada akhirnya demokrasi milik rakyat Indonesia ini, mati, menurut para mahasiswa itu, sejarah akan mengingat siapa saja pembunuhnya. Untuk itu, menjadi keharusan bagi seluruh pihak untuk menyadarkan kekuasaan atas perbuatannya.
"Tolong bantu kami mengingat, bukankah peran yang Pak Tik dan Mas Ari ambil dalam pusaran kekuasaan adalah suatu bentuk upaya untuk menjawab tantangan tersebut? Ijinkan kami kaitkan hal itu dengan pelajaran yang pernah kami dapat di DPP," lanjutnya.
Dalam orasinya, para mahasiswa menyitir pandangan Antonio Gramsci, filsuf Italia yang pemikirannya tentang intelektual tradisional dan organik, sering dikutip oleh Ari Dwipayana.
Mereka juga menyinggung pemikiran kolega Pratikno, sekaligus guru Ari, yakni mendiang pakar politik Cornelis Lay, tentang 'intelektual jalan ketiga' sebagai jalur alternatif. Ini adalah jawaban dari peran yang dilematis bagi para intelektual untuk menjadi bagian dari kekuasaan, atau menjauhinya atas dasar nilai kemanusiaan.
Poin utamanya adalah bagaimana para intelektual bisa bersahabat dengan kekuasaan tetapi tetap membawa nilai dasar intelektual, demi kepentingan pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan.
Para mahasiswa juga mengutip penggalan pidato Cornelis saat pengukuhannya sebagai guru besar lalu. "Dosa terbesar kaum intelektual tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran yang diketahuinya."
Related News

Gerakkan Ekonomi Daerah, Presiden Prabowo Perluas Cakupan MBG

Kasus Online Scam, Polda Jaya Ungkap Siasat Jahat Tersangka

Pemadaman Listrik Bali, PLN Ungkap ada Gangguan Kabel Bawah Laut

Kasus Judi Online Agen138, Empat Tersangka Dilimpahkan ke Kejaksaan

PPATK Blokir 5 Ribu Rekening Judol, Transaksi Lebih dari Rp600 Miliar

KPK dan Anggota DPR Ini Dukung Pengesahan RUU Perampasan Aset