Faris mengungkapkan, pemerintahan saat ini jelas berada dalam upaya melanggengkan kekuasaan, terbilang tidak antiintelektual dan malah mendegradasi intelektualisme, tetapi justru disokong oleh banyak intelektual sebagai instrumen 'stempel' dan pihak justifikasi kebijakan penguasa. Lalu, ia mempertanyakan, berada di jalan mana para intelektual yang saat ini menjadi bagian kekuasaan berada?.

 

Sebagai pembelajar ilmu politik sekaligus murid Pratikno dan Ari, mereka mengaku menyadari bahwa segala permasalahan terkait kemerosotan demokrasi adalah permasalahan sistemik yang disebabkan oleh banyak aktor.

 

"Ini bukan kesalahan Pak Tik dan Mas Ari semata. Namun, biar bagaimanapun kami menyadari, dua guru kami telah menjadi bagian dari persoalan bangsa. Untuk itu, izinkan kami mewakili Pak Tik dan Mas Ari menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas hal itu," ucap Faris.

 

Mereka sampai hari ini mengaku masih mengingat betul ketika Pratikno dan Ari menyebut kata 'demokrasi' hingga menggema di ruang-ruang kelas. Mereka pun meminta keduanya untuk 'pulang'.

 

"Hari ini kami berseru bersama kembalilah pulang. Kembalilah membersamai yang tertinggal, yang tertindas, yang tersingkirkan. Kembalilah ke demokrasi, dan kembalilah mengajarkannya kepada kami, dengan kata dan perbuatan," tutupnya.

 

Para mahasiswa itu bersaksi, betapa manifestasi gema itu sungguh terjal. Tapi jeritan dan tangisan nestapa yang tak pernah usai dari siapa-siapa yang sukar merasakan keadilan terus melucuti batin. “Bagi kami, Pak Tik dan Mas Ari adalah guru, rekan, sahabat, kerabat, dan bapak." ***