EmitenNews.com—Harga minyak brent melayang di level terendah 2 bulan mencapai $83,63 per barel pada perdagangan Jumat (25/11). Hal ini disebabkan karenan prediksi yang diusulkan negara G7 untuk batas harga minyak Rusia lebih tinggi dari level perdagangan saat ini, meredakan kekhawatiran atas pasokan yang ketat. 


Dalam hal lain, lonjakan persediaan bensin Amerika Serikat yang lebih besar dari perkiraaan dan perluasan pengendalian penyebaran Covid-19 di China juga menambah tekanan bagi harga minyak dunia. Harga emas kembali melambung di atas level USD1.750 mengkonsolidasi kenaikan setelah risalah kebijakan terbaru Federal Reserve mengisyaratkan perlambatan laju kenaikan suku bunga. 


Berdasarkan hasil analis dari ANZ mengatakan bahwa semakin besarnya risiko resesi dan geopolitik hingga 2023, permintaan fisik emerging market yang kuat dan rekor pembelian yang tinggi oleh Bank Sentral, namun emas masih dapat mengungguli tingkat suku bunga rill.


 Pasar kendaraan listrik yang semakin ramai di pasar mendorong industri untuk bertumbuh, mengakibatkan harga nikel akan naik, dan juga akan berdampak positif pada prospek saham-saham Nikel. Dimana secara harga nikel mengalami kenaikan sebesar 1,7% ke level $25.257 per metrik ton sejak awal pekan. 


Harga minyak sawit kembali naik pada perdagangan Jumat (25/11) menyentuh level $4.140 per ton, setelah mengalami penurunan pada perdagangan pekan lalu di level $3.850. Harga minyak sawit kembali menguat tajam tampaknya disebabkan oleh naiknya harga minyak saingan seperti minyak kedelai di Dalian yang menguat sekitar 1,72%. Minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak terkait karena mereka bersaing untuk mendapat bagian di pasar minyak nabati global.


Indeks Dolar AS bergerak melemah mendekati 105 di minggu lalu setelah minggu sebelumnya bergerak di kisaran 105-106. Risalah Fed dovish membebani dolar, yang mana mendapatkan tenaganya ketika the Fed menaikkan suku bunga secara agresif. 


Euro terdepresiasi hampir 1% di minggu lalu dan semakin menjauh dari rekor terendah di tahun ini, yaitu di bawah EUR1 per dolar AS. Aksi jual oleh trader menunggu rilis notulen rapat European Central Bank (ECB) membebani kinerja mata uang tersebut. Inflasi Zona Euro melonjak di atas 10% pada bulan Oktober, tetapi PMI November mengindikasikan wilayah tersebut memasuki resesi, menciptakan dilema bagi para pengambil kebijakan ECB. 


Ringgit Malaysia, Yen Jepang dan Won Korea memimpin apresiasi mata uang di Asia. Malaysia melihat mata uangnya terapresiasi sekitar 1,75% dan berada di kisaran MYR4,5 per dolar AS setelah Anwar Ibrahim ditunjuk sebagai Perdana Menteri baru, yang mana diharapkan akan membawa lebih banyak kepastian dan stabilitas. 


Yen Jepang menguat sekitar 1,3% menjadi di bawah JPY140 per dolar AS di minggu lalu karena sinyal dovish the Fed membantu mata uang pulih lebih jauh dari posisi terburuk beberapa dekade, yang mana sempat berada pada JPY150 per dolar AS pada pertengahan Oktober 2022. Won Korea Selatan terapresiasi sekitar 1,17% di minggu lalu menjadi KRW1.324 per dolar AS setelah bank sentral negara tersebut menaikkan suku bunga secara relatif moderat. Bank of Korea berusaha menghindari guncangan ekonomi dari suku bunga tinggi, di tengah tanda-tanda meningkatnya tekanan di pasar obligasi. 


Rupiah Indonesia bergerak sedikit melemah di minggu lalu, berada di kisaran rata-rata Rp15.687 per dolar AS di minggu lalu setelah minggu sebelumnya berada di kisaran Rp15.601 per dolar AS. Meski risalah the Fed menunjukkan dovish, jual bersih Rp1,88 triliun di pasar obligasi pemerintah di awal pekan lalu membebani rupiah, mendorongnya ke arah yang tinggi, yakni Rp15.713 per dolar AS.


Yield US treasury turun pada tingkat yang relatif seragam antar tenor. Yield 2 tahun turun sekitar 11 bps menjadi 4,142%. Sedangkan, yield 10 tahun sekitar 15 bps menjadi 3,66%. Sinyal dovish meredam laju kenaikan pada yield karena the Fed kemungkinan mengambil kenaikan yang lebih lunak, mendorong yield untuk turun.


Penurunan yield 10 tahun US treasury juga diikuti oleh Zona Euro, Inggris dan Kanada, yang mana membukukan penurunan di kisaran 16-20 bps di minggu lalu dan berada pada 1,85%, 3,03% dan 2,93%. Meski menyambut positif sikap dovish the Fed, namun yield di Zona Euro dan Inggris masih mungkin untuk naik kembali karena kemungkinan bank sentral akan menaikkan suku bunga secara agresif untuk mendinginkan inflasi. 


Di Asia Tenggara, Malaysia dan Thailand melaporkan penurunan yield tertajam dibandingkan dengan negara tetangga mereka. Di Malaysia, yield 10 tahun turun 14 bps menjadi 4,1%. Sedangkan, di Thailand, yield turun 15 bps menjadi 2,75%. 


Di Indonesia, yield 10 tahun turun relatif moderat dan berada di bawah 7% setelah sebelumnya sempat menyentuh rekor tertinggi di 7,67% mendekati akhir Oktober 2022. Sementara itu, tenor 2 tahun turun lebih tajam dengan 25 bps menjadi di sekitar 6,5%. Obligasi di Indonesia mendekati titik di mana saatnya untuk membeli karena suku bunga kebijakan mendekati level terminalnya, memberikan kenyamanan bagi investor yang memegang utang negara berkembang untuk masuk kembali, papar Bloomberg. 


Investor asing membukukan Rp0,22 triliun jual bersih di pasar obligasi selama Senin-Kamis di minggu lalu. Setelah sempat membukukan jual bersih Rp1,8 triliun pada Senin, mereka masuk kembali dengan Rp0,56 triliun. Sebaliknya, di pasar saham, mereka membukukan beli bersih Rp2,96 triliun memanfaatkan koreksi harga setelah aksi jual mereka di minggu sebelumnya (Rp2,18 triliun). 


Bank Indonesia akan menggunakan intervensi Operation Twist untuk menjaga imbal hasil obligasi negara bertenor 10 tahun di bawah rata-rata 7,9% tahun depan, papar Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. Pasar domestik mendapatkan momentum untuk memperkuat basis permintaan domestik setelah asing melepas kepemilikan mereka. Kepemilikan mereka telah semakin menurun dari rekor di atas 40% menjadi 14,1% pada 24 November 2022 atau senilai Rp723,89 triliun. 


Yield obligasi korporasi turun pada tingkat yang mirip dibandingkan dengan yield obligasi pemerintah karena penurunan yield benchmark disertai dengan premi yang relatif stafnan di minggu lalu. Yield tenor 3 tahun berada di 7,06% dan 11,23% untuk peringkat AAA dan BBB dengan premi masing-masing 41 bps dan 457 bps relatif sama dengan minggu sebelumnya.