EmitenNews.com - PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengungkap bahwa nilai mandat penerbitan surat utang korporasi yang dikantongi hingga akhir Juni 2025 telah menembus Rp62,37 triliun. 

Menariknya, mayoritas rencana penerbitan ini justru datang dari sektor swasta, yang menunjukkan geliat korporasi non-pemerintah dalam menggalang dana di tengah ketidakpastian global.

Kepala Ekonom Pefindo, Suhindarto, menjelaskan bahwa total terdapat 53 perusahaan yang siap menerbitkan surat utang korporasi pada semester II/2025. Dari jumlah itu, sebanyak 34 perusahaan berasal dari sektor swasta dengan estimasi nilai mencapai Rp32,73 triliun, sementara sisanya merupakan entitas BUMN, anak usaha BUMN, dan BUMD dengan total Rp29,63 triliun.

“Mandat yang belum listing ini bisa menjadi gambaran prospek penerbitan di semester kedua. Nilainya mencapai Rp62 triliun,” ungkap Suhindarto dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (15/7/2025).

Secara sektoral, perbankan menyumbang lima perusahaan dengan rencana penerbitan Rp9,4 triliun, disusul oleh multifinance (8 perusahaan, Rp9,1 triliun) dan sektor pertambangan (7 perusahaan, Rp7,8 triliun). Sementara perusahaan induk (holding) mencatat mandat sebesar Rp6,8 triliun dan lembaga keuangan khusus sekitar Rp6,5 triliun. Sektor lainnya menyumbang nilai di bawah Rp5 triliun.

Dari sisi instrumen, mayoritas surat utang akan diterbitkan dalam format Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) dengan nilai Rp41,29 triliun. Selain itu, terdapat rencana penerbitan sukuk dan medium term notes (MTN) senilai sekitar Rp3 triliun, serta instrumen sekuritisasi senilai Rp2,05 triliun.

Pefindo melihat tren penerbitan surat utang korporasi akan tetap aktif hingga akhir 2025. Pendorong utamanya adalah kebutuhan pembiayaan kembali (refinancing), ekspansi usaha, dan minat yang tinggi terhadap pendanaan jangka menengah. Di sisi lain, perusahaan disebut makin condong mencari pendanaan domestik untuk menghindari risiko nilai tukar dan tingginya suku bunga global, terutama dari Amerika Serikat.

“Dalam situasi global seperti sekarang, banyak perusahaan lebih memilih pasar dalam negeri yang cenderung stabil untuk mengamankan pendanaan,” pungkas Suhindarto.