Dibalik Euforia Saham, Investasi atau Judi Terselubung?
ilustrasi papan perdagangan di Bursa Efek Indonesia. Dok/EmitenNews
EmitenNews.com -Pandemi COVID-19 disebut-sebut menjadi katalis utama dalam peningkatan partisipasi generasi muda di pasar modal. Data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan bahwa per Agustus 2024, 55,07% investor pasar modal berasal dari kelompok usia di bawah 30 tahun. Sementara, masih menjadi misteri Ilahi: apakah mereka sudah benar-benar memahami risiko dan strategi investasi? apa itu lot dalam dunia saham? apakah sama dengan judi selot?
Berinvestasi di saham memang menawarkan potensi keuntungan tinggi, tetapi juga penuh dengan risiko. Banyak milenial dan Gen Z yang tergiur dengan cerita sukses instan tanpa benar-benar paham bahwa investasi saham bisa menjadi pedang bermata dua. Menurut survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan di Indonesia memang meningkat, tetapi tidak diikuti dengan tingkat pemahaman yang mendalam tentang risiko investasi. Faktanya tidak sedikit dari generasi ini justru jatuh ke dalam jebakan "FOMO" (Fear of Missing Out) karena terpengaruh media sosial, yang ujungnya berakhir terjerat utang pinjaman online (pinjol) lalu bunuh diri atau bahkan sampai menghilangkan nyawa orang lain demi mendapatkan uang untuk modal trading.
Maraknya platform investasi online baru yang bermunculan semakin mempermudah akses generasi muda ke pasar saham. Namun, apakah kemudahan tersebut dapat kita percaya sepenuhnya? Beberapa platform bahkan menawarkan trading dengan modal rendah sampai fasilitas margin ataupun limit trading (utang ke sekuritas), yang makin menginspirasi investor muda melakukan trading harian yang sangat spekulatif. Alih-alih berinvestasi untuk jangka panjang, banyak yang terjebak dalam pola "berjudi" di pasar saham. Bukankah seharusnya ada regulasi yang lebih ketat untuk melindungi investor muda dari risiko overtrading?
Milenial dan Gen Z dinilai memang memiliki profil yang cenderung “berani” dan “inovatif” dalam berinvestasi. Tapi, apakah mereka benar-benar siap menghadapi volatilitas pasar? Data menunjukkan bahwa banyak investor muda yang cepat panik saat pasar mengalami penurunan dan bingung saat harga saham yang dibeli terus turun, sementara yang dijual semakin liar kenaikan harganya. Survei dari Asosiasi Investor Indonesia mengungkapkan bahwa 35% investor muda keluar dari pasar setelah mengalami kerugian pertama mereka. Alih-alih tahan banting, generasi ini lebih rentan terhadap fluktuasi emosi dalam menghadapi risiko.
Generasi ini sangat tergantung pada influencer finansial dan komunitas investasi online untuk mendapatkan informasi. Sayangnya, tidak semua influencer memiliki latar belakang keuangan yang kuat, dan beberapa bahkan hanya menyampaikan tips investasi sebagai strategi pemasaran mereka. Fenomena "financial influencer" ini seolah menjadi paradoks: mereka memberi edukasi, namun juga mendorong pemikiran yang terlalu sederhana dalam berinvestasi.
Narasi “financial freedom” atau kebebasan finansial begitu menggema di kalangan milenial dan Gen Z, seolah menjadi janji muluk yang bisa dicapai hanya dengan mengikuti beberapa tips investasi. Namun, kenyataannya, tidak semua orang bisa mencapai kebebasan finansial hanya dari berinvestasi di saham, apalagi dalam waktu singkat. Generasi muda mungkin perlu menilai kembali apakah “financial freedom” yang dijanjikan hanya sekadar ilusi yang menjebak.
Menjamurnya komunitas investasi online seperti di Telegram dan platform X memang sedikit banyak cukup membantu menjadi “support system” bagi banyak investor muda. Namun, di sisi lain, komunitas ini juga bisa menciptakan tekanan sosial yang besar. Rasa takut tertinggal atau “ketinggalan momen” sering kali mendorong investor muda untuk membuat keputusan investasi yang gegabah. Bukan hanya solidaritas, komunitas ini sering kali berubah menjadi tempat yang penuh tekanan sosial untuk mengikuti arus tanpa mempertimbangkan risiko yang ada.
Peningkatan jumlah investor muda ini tentunya membawa tanggung jawab besar bagi regulator dan pemerintah. OJK telah mengeluarkan berbagai regulasi terkait perlindungan investor, tetapi implementasi di lapangan masih sering longgar. Salah satu contohnya adalah kurangnya pengawasan terhadap platform investasi online yang menawarkan margin trading secara agresif tanpa edukasi risiko yang memadai. Jika tidak segera diatasi, praktik ini dapat menciptakan gelembung ekonomi yang mengancam stabilitas keuangan nasional.
Selain itu, perlu adanya regulasi yang memaksa platform untuk memberikan fitur edukasi berbasis game yang interaktif, di mana investor muda dapat belajar tentang risiko investasi sebelum mulai menggunakan platform mereka. Regulator juga perlu mengadopsi pendekatan proaktif, seperti menyaring iklan-iklan investasi yang menjanjikan keuntungan cepat tanpa penjelasan risiko.
Generasi milenial dan Gen Z lahir dalam era digital, yang memberikan mereka akses tak terbatas ke informasi. Lagi-lagi, akses ini juga menjadi pedang bermata dua. Literasi keuangan sering kali terkalahkan oleh derasnya arus informasi yang tidak terverifikasi. Dalam sebuah survei oleh World Economic Forum, hanya 40% generasi muda di negara berkembang yang dapat memahami istilah-istilah dasar dalam investasi, seperti compound interest, diversification, atau risk management.
Salah satu alasan utama kegagalan banyak investor muda adalah mentalitas yang tidak siap menghadapi kerugian. Sebuah riset dari Financial Industry Regulatory Authority (FINRA) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa investor muda cenderung mengabaikan diversifikasi dan lebih memilih saham-saham "gorengan" yang sedang tren. Akibatnya, ketika pasar mengalami koreksi, banyak yang kehilangan seluruh modal mereka dalam waktu singkat.
Kerugian finansial tidak hanya memengaruhi kesejahteraan ekonomi seseorang, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental. Studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia pada 2023 menemukan bahwa 1 dari 5 investor muda yang mengalami kerugian signifikan memiliki gejala gangguan kecemasan atau depresi. Hal ini diperburuk oleh stigma di masyarakat yang sering kali menyalahkan dan memberi label “gambler” pada korban kerugian investasi/ trading saham.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang investasi, generasi muda dapat meminimalkan risiko dan memanfaatkan potensi keuntungan secara bijak. Regulasi, edukasi, dan dukungan komunitas menjadi elemen penting untuk menciptakan ekosistem investasi yang sehat di masa depan.
Related News
Tekstil Ilegal, Bagaimana Bea Cukai dan Industri Lokal Bersinergi?
Bulan Baik dan Bulan Buruk dalam Berinvestasi Saham, Memang Ada?
Menyelam Sambil Minum Air dengan Fasilitas Pinjam Meminjam Efek (PME)
Strategi Jitu Berinvestasi Saham Saat PPN Jadi 12 Persen
Jika Bursa Efek Indonesia Buka 24 Jam
Berburu Cuan di Saham Melalui Window Dressing