“Namun ironisnya, faktanya dibeli oleh pemilik lama yang menggunakan baju baru,” kata Burhanudin.


Sementara itu, Wakil Ketua Pansus BLBI DPD RI, Sukiryanto mempertanyakan pembayaran bunga Obligasi Rekap jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).


Sebab faktanya, sampai tahun 2014, dana APBN yang dialokasikan untuk membayar bunga Obligasi Rekap pemerintah Ex BLBI sebesar kurang lebih Rp 930 Triliun.


Dan hingga tahun ini (2022), Menkeu RI masih menganggarkan dana APBN Rp 48 Triliunan untuk bunga Obligasi Rekap kepada bank-bank rekap atau para pemegang Obligasi Rekap yang membelinya di pasar sekunder.


Mirisnya, pembayaran bunga obligasi rekap ini terus digelontorkan saat APBN mengalami defisit.


Di sisi lain subsidi untuk BBM, pangan, kesehatan, pendidikan yang dihapuskan atau dibatasi oleh pemangku kebijakan.


“Apakah mungkin kita melakukan moratorium pembayaran bunga rekap BLBI ini?” tanyanya.


Burhanudin Abdullah mengatakan, sebenarnya menginginkan adanya moratorium. Namun lingkungan waktunya tidak tepat.


Alasannya: Pertama, situasi global sangat sulit seperti yang terjadi inflasi di Amerika dan Eropa. Kedua, inflasi di dalam negeri juga meningkat dengan adanya kenaikan BBM, pangan, dan energi.


“Maka di saat kita melakukan moratorium kita akan dianggap default. Jadi terlihat akan aneh,” katanya.


Lebih lanjut, Bustami menjelaskan, jawaban Burhanudin ini akan menjadi bahan bagi Pansus untuk memanggil stakeholder terkait BLBI lainnya.


Sebelumnya, Pansus BLBI DPD RI sudah mengundang Anthony Salim, Budi dan Robert Hartono, serta Sjamsul Nursalim.


“Yang harus diketahui, kita bertindak berdasar temuan BPK dan bukti-bukti berikutnya bersama dengan undangan kita pada semua pihak yang tahu duduk persoalan BLBI dan obligasi rekap. Kita akan jalan terus, pantang mundur karena rakyat sedang susah, konglomerat hitam yang rugikan negara ribuan triliun ini harus kita hentikan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Siapa pun itu sama di mata hukum,” pungkas Bustami.