EmitenNews.com -Dunia pasar modal Indonesia, yang seharusnya menjadi etalase transparansi dan keadilan, kembali diusik oleh riuhnya kabar kasus seorang investor mengaku ditagih Rp 1,8 miliar setelah melakukan pembelian saham senilai sekitar Rp 1 Juta melalui salah satu sekuritas yang ada di Indonesia. Adapun sebelumnya, beredar informasi salah satu pengguna media sosial bernama Nyoman Triatmaja Putra (@friendshipwithgod) yang berniat melakukan transaksi saham PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, atau BBTN senilai 9 LOT atau sekitar Rp 1 juta. Orderannya kala itu masih open, belum matched. Setelah melakukan transaksi tersebut, investor melakukan aktivitas dan rutinitas seperti biasanya.         

Alih-alih mendapatkan notifikasi bahwa pembelian sahamnya sudah berhasil (matched), investor tersebut kaget mendapat notifikasi bahwa telah terjadi transaksi pembelian 16.541 LOT saham senilai Rp 1,8 miliar terjadi di akunnya. Ternyata, transaksi tersebut menggunakan fitur trading limit atau fasilitas pembelian saham dengan daya beli tambahan dari sekuritas.  

Investor merasa dirugikan dan menilai ada suatu kejanggalan yang terjadi, investor tersebut langsung membuat postingan di media sosial dan kasus ini pun langsung menarik perhatian netizen dan memicu langkah cepat dari Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meminta klarifikasi kepada pihak sekuritas yang terkait.       

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kemudian meminta netizen untuk menunggu proses pendalaman investigasi terkait kasus tersebut. Setelah beberapa hari kemudian, alih-alih mendapat kabar baik dari pihak sekuritas, netizen malah mendapatkan informasi bahwa pihak sekuritas menempuh jalur hukum dan memberikan somasi kepada investor yang bersangkutan.    

Fenomena ini bukan sekadar insiden sporadis, melainkan cerminan buram dari celah-celah regulasi dan lemahnya pengawasan yang pada akhirnya menggerus kepercayaan publik. Ketika investor yang rentan justru menjadi target tindakan hukum oleh entitas yang seharusnya melayani, pertanyaan besar pun menggantung: Di mana peran Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melindungi marwah pasar modal kita?    

Dalam banyak kasus, investor yang notabene adalah individu, seringkali tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai atau akses terhadap bantuan hukum yang setara. Mereka terpaksa berhadapan dengan tim legal sekuritas yang mumpuni, menciptakan disparitas kekuatan yang mencolok.    

Ironisnya, beberapa kasus somasi justru mencuat dari praktik-praktik yang patut dipertanyakan dari sisi sekuritas itu sendiri, seperti pemberian margin tanpa analisis risiko yang mendalam terhadap investor, atau bahkan dugaan error trading yang kemudian dilimpahkan sepenuhnya kepada investor. Jika demikian, bukankah ini adalah bentuk lepas tangan dari tanggung jawab profesional? Pada dasarnya pasar modal seharusnya dibangun di atas asas fairness, bukan?   

Indonesia memiliki kerangka regulasi yang cukup komprehensif untuk pasar modal, mulai dari Undang-Undang Pasar Modal, Peraturan OJK, hingga regulasi internal BEI. Peraturan OJK Nomor 57/POJK.04/2017 tentang Perilaku Usaha Perusahaan Efek, misalnya, secara eksplisit mengatur kewajiban perusahaan efek untuk senantiasa bertindak jujur, adil, profesional, dan mengutamakan kepentingan investor. Namun, apakah semangat regulasi ini tercermin dalam praktik di lapangan?      

Di sinilah peran Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai regulator SRO (Self-Regulatory Organization) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai otoritas pengawas tertinggi menjadi krusial. BEI, seharusnya mampu mendeteksi pola-pola somasi yang merugikan investor dan melakukan intervensi preventif. OJK, dengan mandat perlindungan konsumen, memiliki kewenangan untuk meninjau praktik-praktik bisnis sekuritas yang berpotensi merugikan investor, termasuk meninjau kembali klausul-klausul standar dalam perjanjian yang bersifat eksploitatif. Namun, seringkali respons yang terlihat terkesan reaktif, bukan proaktif. Keluhan investor, baru akan  ditindaklanjuti setelah kerugian terjadi atau bahkan setelah proses somasi berjalan.       

Reformasi Pasar Modal yang Berkeadilan Terhadap Perlindungan Investor

Untuk menghentikan praktik-praktik somasi yang saat ini mulai mengikis kepercayaan publik, diperlukan langkah-langkah konkret:      

Pertama, Penguatan Edukasi dan Literasi Investor: BEI dan OJK harus mewajibkan sekuritas untuk melakukan proses edukasi yang lebih intensif dan terukur sebelum investor melakukan transaksi berisiko tinggi. Ini bukan hanya sekadar formalitas semata, tetapi untuk lebih memastikan bahwa investor benar-benar memahami konsekuensi dari setiap keputusan investasi.      

Kedua, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif yang Efektif: OJK harus memperkuat dan mempopulerkan mekanisme penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan, seperti mediasi atau arbitrase melalui Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI). Proses ini harus mudah diakses, cepat, dan berpihak pada keadilan, bukan hanya pada kekuatan legal.   

Ketiga, Transparansi dan Peninjauan Klausul Perjanjian Baku: OJK perlu secara proaktif meninjau dan memastikan bahwa klausul-klausul dalam perjanjian pembukaan rekening efek tidak mengandung ketentuan yang memberatkan investor secara tidak proporsional atau bersifat eksploitatif. Sekuritas harus didorong untuk menggunakan bahasa yang mudah dipahami serta UI (User Interface) berfokus pada tampilan visual dan elemen interaktif yang mudah dipahami dan digunakan oleh investor. Seperti tombol, ikon, dan tata letak. Sementara itu, UX (User Experience) mencakup keseluruhan pengalaman investor saat berinteraksi dengan produk, termasuk kemudahan, kepuasan, dan efisiensi. Keduanya harus diperhatikan dan dioptimalkan untuk menciptakan produk yang tidak hanya terlihat menarik tetapi juga mudah digunakan dan aman bagi investor.     

Keempat, Sanksi Tegas bagi Sekuritas Nakal: Apabila terbukti sekuritas melakukan praktik somasi yang tidak etis atau bahkan melanggar prinsip kehati-hatian, BEI dan OJK harus berani menjatuhkan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera, mulai dari denda, pembekuan izin, atau bahkan pencabutan izin usaha.    

Kelima, Pengawasan Proaktif dan Audit Mendalam: BEI dan OJK harus melakukan pengawasan yang lebih proaktif terhadap praktik operasional sekuritas, termasuk audit terhadap prosedur penanganan keluhan investor dan proses penagihan utang. Deteksi lebih dini terhadap potensi konflik dapat mencegah eskalasi masalah.        

Keenam, Pembentukan Dana Perlindungan Investor: Gagasan pembentukan dana perlindungan investor, serupa dengan yang ada di beberapa negara maju, perlu dipercepat. Dana ini dapat digunakan untuk memberikan kompensasi kepada investor yang dirugikan akibat kelalaian atau praktik tidak bertanggung jawab dari perusahaan efek.